Share this article

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah salah satu peraturan perundangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan agar lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat serta sebagai landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Selain itu juga sebagai hukum administrasi materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Wewenang PTUN

PTUN memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di tingkat pusat maupun daerah. Kewenangan ini berkembang sejalan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang juga semakin luas dan timbulnya lembaga negara yang mendukung terlaksananya pemerintahan.

Tugas dan wewenang tersebut dilaksanakan dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 9/2004”) dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”) yang mengatur tentang perubahan atas Undang-Undang tentang peradilan tata usaha negara, peraturan dan perundang-undangan yang terkait, serta petunjuk yang diberikan oleh Mahkamah Agung. Tugas dan wewenang yang kedua adalah meneruskan sengketa yang timbul di bidang tata usaha negara ke pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara.

Peradilan tata usaha negara juga bertugas dan berwenang untuk memastikan organisasi dan tata kerja kepaniteraan di pengadilan tata usaha negara sudah dipahami sepenuhnya dan dijalankan dengan baik. Tugas dan wewenang ini penting untuk diperhatikan karena panitera adalah salah satu pejabat di pengadilan yang bertanggung jawab untuk membantu hakim dalam melaksanakan tugas-tugas administratif. Terkait dengan tugas dan wewenang ini, peradilan tata usaha negara dapat berpedoman pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/012/SK/III/1993.

Pihak Yang Bersengketa

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU 5/1986 bahwa tata usaha negara didefinisikan sebagai berikut:

“Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.”

Selanjutnya, pengertian sengketa usaha negara berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 didefinisikan sebagai berikut:

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Berdasarkan ketentuan tersebut maka pihak yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah. Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Obyek Sengketa PTUN

Obyek sengketa yang diperiksa PTUN adalah hal yang berkaitan dengan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual, final dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Perluasan makna keputusan tata usaha negara sesuai Pasal 87 UU Nomor 30 Tahun 2014 adalah: a) penetapan tertulis yang juga mencakup perbuatan faktual, b) Keputusan Badan dan/atau Pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya, c) berdasarkan ketentuan perundangundangan dan AAUPB, d) bersifat final dalam arti lebih luas, e) Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, dan/atau f) Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Lebih lanjut, obyek sengketa yang berupa keputusan tata usaha negara adalah perbuatan hukum pemerintah di bidang hukum publik. Perbuatan hukum ini harus berdasarkan hukum yang berlaku artinya sesuai dengan asas legalitas dalam hukum administrasi negara. Asas legalitas menurut Sjachran Basah , adalah upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif. Asas legalitas dalam penyelenggaraan pemerintahan harus dipenuhi, karena sebagai negara hukum segala tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan hukum yang berlaku dan sekaligus memberi jaminan perlindungan hukum bagi warga negara.

Tata Cara Mengajukan Gugatan Tata Usaha Negara

Sengketa tata usaha negara diselesaikan di PTUN dengan mengajukan gugatan tertulis yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negarayang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tertulis disebutkan dalam Pasal 53 ayat (2) UU 9/2004 sebagai berikut:

  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.

Bagi pihak yang namanya tersebut dalam keputusan tata usaha negara yang digugat, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari diterimanya keputusan tata usaha negara yang digugat.

Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan, maka menurut ketentuan:

  1. Pasal 3 ayat (2) UU 5/1986, tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
  2. Pasal 3 ayat (3) UU 5/1986, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES

 

LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp

 


Share this article