Share this article

Dalam persidangan perkara perdata, seringkali ditemui bahwa tergugat mengajukan eksepsi absolut atau eksepsi relatif yang pada intinya menyatakan pengadilan tidak memiliki kompetensi untuk mengadili gugatan tersebut, sekaligus meminta majelis hakim untuk mengeluarkan putusan sela mengenai hal tersebut. Sehubungan dengan itu, artikel ini akan menguraikan beberapa ketentuan, baik dalam hukum acara perdata, putusan pengadilan dan pendapat para ahli yang pada prinsipnya menyatakan bahwa majelis hakim wajib untuk memutuskan terlebih dahulu mengenai eksepsi mengenai ketidakberwenangan pengadilan secara terpisah dengan pokok perkara.

I. Hukum Acara Perdata

Di bawah ini adalah beberapa pasal dalam HIR untuk memperguat argument tersebut di atas.

1. Pasal 125 ayat (2) HIR yang menyatakan:

Akan tetapi jika si tergugat dalam surat jawabnya tersebut pada Pasal 121, mengemukakan eksepsi (tangkisan) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak datang, wajiblah pengadilan negeri mengambil keputusan tentang eksepsi itu, sesudah mendengar penggugat itu; hanya jika eksepsi itu tidak dibenarkan, pengadilan negeri boleh memutuskan perkara itu”.

2. Pasal 134 HIR yang menyatakan:

Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri, maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib pula mengakuinya karena jabatannya.

3. Pasal 136 HIR yang menyatakan:

Tangkisan-tangkisan (Eksepsi-eksepsi), yang ingin tergugat kemukakan, kecuali mengenai ketidakwenangan Hakim, tidak boleh diajukan dan dipertimbangkan sendiri-sendiri, melainkan diperiksa dan diputus bersama-sama dengan gugatan pokok.

II. Yurisprudensi Mahkamah Agung

Ketentuan hukum di atas diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa eksepsi ketidakberwenangan mengadili dapat diajukan secara mandiri dan terlebih dahulu, terpisah dari pembelaan terhadap pokok perkara:

1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg. No. 22 K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975, yang pada intinya memutuskan sebagai berikut:

Karena Eksepsi Yang Diajukan Oleh Terbantah I Dianggap Benar, Pemeriksaan Tidak Perlu Diteruskan Dengan Memeriksa Pokok Perkara.”

2. Putusan Sela Pengadilan Negeri Banyumas No. 10/Pdt.G/2009/PN.BMS tanggal 5 Januari 2010:

Menimbang, bahwa oleh karena dalam jawaban Tergugat memuat Eksepsi Kompetensi Absolut, Majelis Hakim mendasarkan Pasal 136 HIR, maka terhadap dalil Eksepsi Kompetensi Absolut haruslah dijatuhkan terlebih dahulu dengan putusan sela;

III. Pendapat Para Ahli

Sejalan dengan ketentuan hukum acara dan putusan pengadilan di atas, juga terdapat doktrin hukum dari pakar Hukum Acara Perdata Indonesia yang menegaskan mengenai kewajiban pengadilan untuk terlebih dahulu memeriksa, mengadili dan memutus suatu eksepsi kompetensi absolut mengenai kewenangan pengadilan, yaitu sebagai berikut:

1. Mantan Hakim Agung, M. Yahya Harahap, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, penerbit Sinar Grafika, 2015, halaman 426, yang menyatakan:

“Apabila tergugat mengajukan eksepsi kompetensi absolut atau relatif, Pasal 136 HIR memerintahkan hakim:

  • Memeriksa dan memutus lebih dahulu tentang eksepsi tersebut.
  • Pemeriksaan dan pemutusan tentang itu, diambil dan dijatuhkan sebelum pemeriksaan pokok perkara.
  • Berarti, apabila tergugat mengajukan eksepsi yang berisi pernyataan PN tidak berwenang mengadili perkara, baik secara absolut atau relatif:
  • Hakim menunda pemeriksaan pokok perkara;
  • Tindakan yang dapat dilakukan, memeriksa dan memutus eksepsi lebih dahulu;
  • Tindakan demikian bersifat imperatif, tidak dibenarkan memeriksa pokok perkara sebelum ada putusan yang menegaskan apakah PN yang bersangkutan berwenang atau tidak memeriksanya. Hakim bebas menjatuhkan putusan menolak atau mengabulkan eksepsi.”

2. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya “Hukum Acara Perdata di Indonesia” penerbit Sumur Bandung, 1992, halaman 53, yang menyatakan:

“Pasal 134 H.I.R atau pasal 160 R.Bg. mengatakan, bahwa, apabila soal kekuasaan Pengadilan Negeri untuk mengadili perkara yang diajukan ini adalah mengenai isi dari permohonan gugat, atau dengan lain perkataan berhubungan dengan attributie kekuasaan Pengadilan dan dapat mengakibatkan, bahwa bukan Pengadilan Negeri melainkan Badan Kekuasaan lainlah yang harus mengadili, maka keberatan tentang hal ini dapat diajukan oleh suatu pihak pada sewaktu-waktu sepanjang dijalankannya pemeriksaan perkara, dan Hakim malahan berhubung dengan jabatan (ambtshalve) harus memecahkan soal itu, apabila ada, dengan tidak menunggu dimajukannya keberatan perihal itu oleh suatu pihak yang berperkara.”

3. Prof. Sudikno Mertokusumo yang berjudul “Hukum Acara Perdata Indonesia”, penerbit Liberty Yogyakarta, 1999, halaman 65 yang menyatakan:

“Kalau suatu perkara diajukan kepada hakim yang secara absolut tidak wenang memeriksa perkara tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak wenang secara ex officio untuk memeriksanya, dan tidak tergantung pada ada atau tidaknya eksepsi dari tergugat tentang ketidak-wenangnya itu.”

4. Prof. Soepomo, S.H., dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”, penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, halaman 49 yang menyatakan:

“Terhadap excepsi tidak berkuasanya hakim itu, pasal 136 mengizinkan adanya pemeriksaan dan putusan tersendiri.”

5. Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H. menulis suatu artikel dengan judul “Azas Hukum Perdata Internasional” dalam buku yang berjudul “Beberapa Yurisprudensi Perdata yang Penting serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara Perdata” yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta:1992 halaman 17. Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H. menganalisa Putusan No. 3221 K/Pdt/1985 tanggal 23 Oktober 1996 sebagai berikut:

“4.1. Wewenang mengadili:

Kalau sudah jelas bahwa perkara/sengketa tersebut mempunyai unsur internasional maka pertama-tama ditentukan dahulu apakah hakim berwenang (bevoegd) mengadili perkara/sengketa ini, karena ada kemungkinan Pengadilan tidak berwenang memeriksa pihak asing tersebut;”

Terlepas dari uraian di atas, dalam pengalaman penulis, ada juga Majelis Hakim di berbagai pengadilan yang berpendapat bahwa eksepsi mengenai ketidakberwenangan pengadilan, baik itu eksepsi absolut maupun eksepsi relatif tidak harus diputus terlebih dahulu melalui sebuah Putusan Sela, namun dapat diputus bersamaan dengan pokok perkara.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J. PINAKUNARY LAW OFFICES

Temui dan Ikuti kami juga di media sosial kami
LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp


Share this article