Share this article

Sebelum proses pemeriksaan di pengadilan dimulai, hakim yang memeriksa perkara wajib untuk mendamaikan para pihak yang berperkara melalui mediasi[1]. Proses mediasi ini wajib diikuti oleh setiap hakim, mediator, para pihak dan/atau kuasa hukum. Semua sengketa perdata wajib melalui proses mediasi, bukan hanya sengketa perdata biasa saja, namun perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Walaupun dikatakan bahwa semua sengketa yang masuk harus melalui proses mediasi, terdapat beberapa sengketa yang  dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui mediasi dan diatur dalam Pasal 4 (2) dan (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Perma 1/2016”).

Apabila hakim yang memeriksa perkara tidak memerintahkan para pihak yang berperkara untuk menempuh mediasi maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mediasi di pengadilan. Oleh karena itu, apabila para pihak yang berperkara mengajukan upaya hukum, maka Pengadilan Tingkat Banding atau Mahkamah Agung akan memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama untuk melakukan mediasi melalui putusan sela. Proses mediasi ini kemudian dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan sela.

Proses mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari bila para pihak sepakat. Proses mediasi bersifat tertutup, kecuali para pihak yang berperkara berkehendak lain. Mediasi dapat dilakukan dengan bertatap muka langsung di pengadilan dan dapat juga dilakukan melalui komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.

Pasal 6 Perma 1/2016 mengatur bahwa para pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan mediasi dengan atau tanpa didampingi kuasa hukumnya. Ketidakhadiran secara langsung  dalam proses mediasi hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan sah, diantaranya yaitu:

  1. kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter;
  2. di bawah pengampuan;
  3. mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau
  4. menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

Berdasarkan ketentuan di atas, terkesan bahwa para pihak benar-benar harus hadir dalam proses mediasi langsung, namun dalam praktik, proses mediasi dapat dihadiri oleh kuasa hukum saja selama telah mendapat kuasa dari para pihak.

Hakim yang memimpin mediasi berbeda dengan hakim yang memeriksa perkara. Para pihak yang berperkara memiliki hak untuk memilih seorang atau lebih mediator yang tercatat dalam daftar mediator di pengadilan, atau dapat juga meminta hakim yang memimpin sidang untuk menunjuk hakim mediator. Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk lebih dari satu mediator, pembagian tugas mediator tersebut ditentukan sendiri oleh para mediator.  

Proses mediasi dapat dipimpin oleh mediator hakim dan pegawai pengadilan atau dapat juga dipimpin oleh mediator nonhakim dan bukan pegawai pegadilan. Dalam hal proses mediasi dipimpin oleh mediator hakim dan pegawai pengadilan, maka tidak ada biaya yang dikenakan. Sedangkan dalam proses mediasi yang dipimpin oleh mediator nonhakim dan bukan pegawai pengadilan, biaya mediasi ditanggung bersama atau berdasarkan kesepakatan para pihak.

Para pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti proses mediasi dengan itikad baik. Apabila para pihak mengikuti proses mediasi dengan itikad buruk, maka hakim yang memeriksa perkara akan mengeluarkan putusan akhir yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tidak beritikat baik dapat ditemukan pada Pasal 7 (2) Perma 1/2016.

Dalam proses mediasi, kuasa hukum memiliki beberapa kewajiban untuk memperlancar proses mediasi, yang meliputi:

  1. menyampaikan penjelasan Hakim Pemeriksa Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7) kepada Para Pihak;
  2. mendorong Para Pihak berperan langsung secara aktif dalam proses Mediasi;
  3. membantu Para Pihak mengidentifikasi kebutuhan, kepentingan dan usulan penyelesaian sengketa selama proses Mediasi;
  4. membantu Para Pihak merumuskan rencana dan usulan Kesepakatan Perdamaian dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan; 
  5. menjelaskan kepada Para Pihak terkait kewajiban kuasa hukum.

Apabila mediasi berhasil atau mencapai kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan Kesepakatan Perdamaian dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Kemudian para pihak dapat meminta Kesepakatan Perdamaian tersebut dikuatkan dalam Akta Perdamaian. Dalam hal ini, di dalam Kesepakatan Perdamaian wajib memuat pencabutan gugatan.

Apabila mediasi tidak berhasil atau gagal, maka proses pemeriksaan perkara akan dilanjutkan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Walaupun perdamaian melalui mediasi tidak tercapai, bukan berarti perdamaian tidak dapat terwujud sama sekali. Pada saat pemeriksaan perkara, apabila para pihak yang berperkara sepakat, mereka dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk melakukan perdamaian. Bahkan upaya perdamaian ini tetap dapat diusahakan pada tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali selama perkara belum diputus. Perlu diperhatikan juga bahwa segala pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara apabila mediasi tidak berhasil.

Semoga bermanfaat.

FREDRIK J. PINAKUNARY Law Offices


[1] Pasal 17 Perma 1/2016

“(1) Pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh Para Pihak, Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak untuk menempuh Mediasi.”


Share this article