Share this article

Ombudsman RI adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (“UU Ombudsman”), salah satu tugas dari Ombudsman adalah “g. melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan”.

Maladministrasi menurut Pasal 1 ayat (3) UU Ombudsman diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Hendra Nurtjahjo dkk dalam bukunya yang berjudul “Memahami Maladministrasi” (hal. 11-12) yang  diakses melalui website resmi Ombudsman RI, menjelaskan definisi maladministrasi sebagai berikut:

  1. Perilaku dan perbuatan melawan hukum,
  2. Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang,
  3. Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang itu,
  4. Kelalaian,
  5. Pengabaian kewajiban hukum,
  6. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
  7. Dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan,
  8. Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial,
  9. Bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Dugaan Maladministrasi sebagai Laporan

UU Ombudsman dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengatur tentang peran Lembaga Ombudsman RI sebagai pengawas penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam peran tersebut, salah satu fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman RI terkait dengan laporan atau pengaduan masyarakat adalah menerima dan memverifikasi laporan yang diterima.

Dalam menerima laporan untuk menilai suatu peristiwa dalam dugaan maladministrasi, dapat digunakan rumus 5W+1H. Secara umum, instansi/lembaga yang bertugas dalam penegakan hukum, seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), cukup familiar dengan rumus 5W+1H ketika menerima laporan dan melakukan penyidikan. Pasal 24 UU Ombudsman juga mengatur bahwa laporan yang diterima Ombudsman RI dari masyarakat harus memenuhi beberapa persyaratan yang salah satunya adalah harus memuat peristiwa atau kronologi yang disampaikan.

Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan rumus 5W+1H itu? Mengutip dari samadina.com, 5W+1H adalah rumus yang berupa pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mencari inti pokok berita, mengembangkan berita atau sebuah cerita. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan rumus 5W+1H berisi inti-inti penyusun berita atau cerita tersebut. 5W+1H sendiri diambil dari kata-kata tanya dalam bahasa Inggris yakni,What, Who, When, Why, Where, dan How. Dalam bahasa Indonesia kata-kata tanya tersebut adalah Apa, Siapa, Kapan, Mengapa, Di mana, dan Bagaimana.

Untuk memahami kondisi masyarakat dalam menyampaikan laporan serta kewenangan Ombudsman RI dalam menindaklanjuti laporan, maka diperlukan pemahaman bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti Ombudsman RI, Pelapor, Terlapor, dan atasan Terlapor terhadap peristiwa dalam dugaan maladministrasi yang perlu diketahui atau diproses ketika diterima.[1]

Beberapa Temuan Terkait Dugaan Maladministasi oleh Ombudsman RI

  • Dugaan Maladministrasi Penyelenggaraan Program Keluarga Harapan (PKH)

Berdasarkan pemberitaan pada https://ombudsman.go.id/news/r/ombudsman-temukan-maladministrasi-penyelenggaraan-pkh dijelaskan bahwa Ombudsman RI menemukan dugaan maladministasi dalam penyelenggaraan Program Keluarga Harapan (PKH), yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial dan Himpunan Bank Negara (Himbara).

Menurut Ombudsman RI, temuan dugaan maladministrasi antara lain berkenaan dengan lambatnya proses penanganan pengelolaan pengaduan oleh Kementerian Sosial ketika ada masalah di tingkat daerah.

Ombudsman RI juga meminta Kementerian Sosial membuat mekanisme pengelolaan pengaduan yang memenuhi standar pelayanan publik dan terintegrasi dengan dinas sosial se-Indonesia dan Himbara.

Ombudsman RI meminta Kementerian Sosial melakukan pemutakhiran dan validasi data Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH untuk memastikan kelancaran dan ketepatan sasaran penyaluran bantuan.

Selain itu, Kementerian Sosial diminta mengintegrasikan e-PKH dengan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-New Generation (SIKS-NG) agar pengolahan data lebih cepat, tepat, dan efektif serta memperbaiki pola koordinasi Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Dinas Sosial, Himbara, dan SDM PKH dalam pendataan dan pendistribusian bantuan PKH.

  • Potensi maladministrasi terkait penanganan COVID-19 selama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

Berdasarkan https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel–potensi-maladministrasi-dan-korupsi-bansos-covid-19- Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat telah membuka Posko Pengaduan Daring Covid-19 pada akhir April 2020. Data yang diterima Posko Pengaduan Daring tersebut mengalami peningkatan penerimaan laporan setiap harinya. Dari data per tanggal 11 Juni 2020, jumlah laporan yang masuk sebanyak 126 Laporan, dengan 98% diantaranya terkait dengan Bantuan Sosial. Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa penyaluran Bansos memiliki potensi korupsi dan maladministrasi yang cukup tinggi.

Posko Pengaduan Ombudsman RI menangani 5 (lima) substansi yaitu (1) Bantuan Sosial, (2) Kesehatan, (3) Transportasi, (4) Keamanan, (5) Keuangan. Laporan terkait dugaan maladministrasi telah dilaporkan ke Ombudsman RI dan sebagian besar dari laporan tersebut telah terselesaikan.

Diantara 5 (lima) besar klasifikasi tersebut, laporan tertinggi yang disampaikan masyarakat meliputi (1) penyaluran bantuan yang tidak merata dalam hal waktu dan masyarakat di wilayah sasaran, (2) masyarakat yang kondisinya lebih darurat lapar, tidak terdaftar dan sebaliknya, (3) terdaftar tetapi tidak menerima bantuan, (4) kurang tersosialisasi sarana pengaduan kepada pemberi bantuan, (5) tidak dapat menerima bantuan di tempat tinggal, dikarenakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pendatang.

Berbagai indikasi penyimpangan dana Bansos Covid-19 mulai dilaporkan oleh elemen masyarakat di berbagai daerah, salah satunya di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat juga telah menerima tembusan dari masyarakat yang melaporkan dugaan korupsi Bansos yang terjadi di Kabupaten Tanah Datar, sifatnya masih tembusan belum laporan karena masyarakat melaporkan dugaan korupsi kepada Kejaksaan Negeri Tanah Datar akhir Mei lalu. Ombudsman RI sebagai Lembaga Pengawas Pelayanan Publik tentunya hanya berfokus pada ranah maladministrasi, dimana jika terjadi dugaan korupsi, maka hal tersebut merupakan ranah penegak hukum.

Ombudsman RI selalu menyampaikan bahwa pintu masuknya korupsi adalah maladministrasi, sehingga memberikan pelayanan publik dengan mencegah maladministrasi akan otomatis mencegah korupsi. Dana Bansos Covid-19 peruntukannya harus tepat sasaran, sehingga perlu dikelola dengan baik oleh penyelenggara pelayanan secara transparan, dengan akuntabilitas tinggi, sehingga tidak mudah untuk di challenge atau dituduh masyarakat. Penyelenggara pelayanan dalam penyaluran Bansos harus terbuka. Selain itu, peran penting dari pengawas internal daerah seperti inspektorat dibutuhkan untuk menjadi kendali atau kontrol penyaluran Bansos.

Pelaksanaan Rekomendasi

Ketika Ombudsman RI menerima laporan tentang adanya maladminstrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara maka Ombudsman RI akan memberikan rekomendasi berupa kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman RI. Dalam hal rekomendasi telah diberikan oleh Ombudsman RI, maka terlapor dan atasan terlapor wajib melaksanakan rekomendasi tersebut (Pasal 38 ayat (1) UU Ombudsman) dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik.

Lebih lanjut, atasan terlapor wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman RI tentang pelaksanaan rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasi pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi (Pasal 38 ayat (2) UU Ombudsman).

Untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi, Ombudsman RI dapat meminta keterangan terlapor dan/atau atasannya dan melakukan pemeriksaan lapangan untuk memastikan pelaksanaan rekomendasi (Pasal 38 ayat (3) UU Ombudsman).

Dalam hal terlapor dan atasan terlapor tidak melaksanakan rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh Ombudsman RI, Ombudsman  RI dapat mempublikasikan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden (Pasal 38 ayat (4) UU Ombudsman).

Semoga bermanfaat.

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES


[1] https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel–peristiwa-dalam-dugaan-maladministrasi, diakses pada tanggal 25 Juni 2020


Share this article