Share this article

Proses Penerimaan
Peserta Didik Baru atau PPDB DKI
Jakarta 2020
telah mencapai titik akhir pada 8 Juli 2020. Sebelumnya,
PPDB DKI Jakarta tahap akhir masih dibuka pada 7-8 Juli 2020 untuk calon siswa
yang belum mendaftarkan diri sebagai peserta karena kendala tertentu. Namun
seleksi jalur afirmasi, zonasi, dan prestasi yang menjadi jalur umum peserta
masuk sekolah negeri di DKI Jakarta sudah berakhir terlebih dahulu. Selama
prosesnya PPDB DKI Jakarta 2020 tak berjalan mulus. Banyak masalah yang muncul,
salah satunya soal kriteria usia pada jalur zonasi yang banyak diprotes
oleh orang tua murid.

Permasalahan
penerimaan siswa melalui sistim zonasi berdasarkan usia tertua menjadi  topik perbincangan hangat di DKI Jakarta, hal
ini disebabkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI yang dinilai oleh David
bertentangan dengan Pasal 25 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak,
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah
Menengah Kejuruan (“Permendikbud 44/2019”).
Terkait polemik ini, pengacara publik David Tobing telah melaporkan Kepala
Dinas Pendidikan DKI ke Ombudsman.

Dalam Pasal 25
Permendikbud 44/2019 yang mengatur penerimaan melalui zonasi, disebutkan:

  1. Seleksi calon peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP dan kelas 10 (sepuluh) SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke Sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan.
  2. Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.

Dinas Pendidikan
DKI menjadikan usia menjadi faktor utama dalam penentuan peserta didik yang
diterima apabila peserta yang mendaftar melebihi kuota. Hal ini termuat dalam
Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI No. 501/2020 tentang Petunjuk
Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Pelajaran 2020/2021, yang menyatakan
jika melebihi daya tampung maka kriteria seleksi adalah usia tertua ke usia
termuda, urutan pilihan sekolah dan waktu mendaftar.

Menurt David Tobing
dan beberapa orang tua murid yang merasa dirugikan, seharusnya peserta yang
mendaftar baik masih dalam kuota maupun melebihi kuota tetap mengacu ke
Permendikbud yaitu ditentukan berdasarkan jarak tempat tinggal calon peserta
didik dengan sekolah.

Lalu, bagaimana
proses penyelesaian sengketa pelayanan publik oleh Ombudsman sebagaimana yang
dilakukan oleh pengacara David Tobing dengan melaporkan Kepala Dinas Pendidikan
DKI ke Ombudsman? Simak penjelasannya dibawah ini:

Pasal 1
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU Pelayanan Publik”) menjelaskan bahwa
ada 2 mekanisme yang bisa diajukan oleh para penerima layanan publik bila
terjadi dugaan penyalahgunaan kewenangan atau dugaan tidak dijalankannya
kewajiban oleh penyelenggara pelayanan pubik. Berdasarkan pasal 1 angka (10) UU
Pelayanan Publik, mekanisme pertama adalah mediasi yakni upaya untuk
menyelesaikan sengketa dalam ranah pelayanan publik antara para pihak yang
berkonflik melalui bantuan yang diberikan oleh Ombudsman atau mediator yang
dibentuk oleh Ombudsman. Selanjutnya berdasarkan pasal 1 angka (11) UU
Pelayanan Publik mekanisme penyelesaian sengketa selanjutnya adalah melalui
ajudikasi. Ajudikasi adalah proses yang dilakukan untuk menangani sengketa
pelayanan publik antara pihak yang bermasalah dan diputus oleh Ombudsman.

Pasal lain dalam UU
Pelayanan Publik berkenaan dengan penyelesaian sengketa Pelayanan Publik juga
ditemukan dalam Pasal 40 dan Pasal 46. Pasal 40 UU Pelayanan Publik mengatur:

“(1) Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Penyelenggara, Ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. “

Sedangkan Pasal 46 mengatur:

“(1) Ombudsman wajib menerima dan berwenang memproses pengaduan dari masyarakat mengenai penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan Undang-Undang ini.

(2) Ombudsman wajib menyelesaikan pengaduan masyarakat apabila pengadu menghendaki penyelesaian pengaduan tidak dilakukan oleh Penyelenggara.

(3) Ombudsman wajib membentuk perwakilan di daerah yang bersifat hierarkis untuk mendukung tugas dan fungsi Ombudsman dalam kegiatan pelayanan publik.

(4) Pembentukan perwakilan Ombudsman di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

(5) Ombudsman wajib melakukan mediasi dan konsiliasi dalam menyelesaikan pengaduan atas permintaan para pihak.

(6) Penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perwakilan Ombudsman di daerah.

(7) Mekanisme dan tata cara penyelesaian pengaduan oleh Ombudsman diatur lebih lanjut dalam peraturan Ombudsman.”

Selain itu dalam
Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor: 002 Tahun 2009 Tentang Tata Cara
Pemeriksaan Dan Penyelesaian Laporan (Peraturan Ombudsman Nomor 002/2009),
diatur beberapa hal mengenai penyelesaian sengketa pelayanan publik yang
diselesaikan melalui ajudikasi di Ombudsman, yaitu:

Pasal 1 angka 5:
Laporan adalah pengaduan atau penyampaian fakta dan ataupun informasi untuk
ditindaklanjuti oleh Ombudsman yang disampaikan secara tertulis atau lisan oleh
setiap orang yang telah menjadi korban maladministrasi.

Pasal 1 angka 6:
Pelapor adalah Warga Negara Indonesia atau penduduk yang menyampaikan laporan
kepada Ombudsman.

Pasal 1 angka 7:
Terlapor adalah penyelenggara negara, pemerintah atau badan swasta serta
perseorangan yang melakukan maladministrasi yang dilaporkan kepada Ombudsman.

Pasal 1 angka 11:
Ajudikasi oleh Ombudsman adalah proses penyelesaian sengketa pelayanan publik
antar para pihak yang diputus oleh Ombudsman

Pasal 46 ayat (4):
Tujuan ajudikasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan penyelesaian yang
disepakati dan dapat diterima Pelapor dan Terlapor yang diputus Ombudsman.

Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa Pelayanan Publik
yang dimaksud dalam UU Pelayanan Publik adalah sengketa yang timbul akibat
adanya pengaduan masyarakat atas pelayanan publik yang diterimanya dari
Penyelenggara Pelayanan Publik. Menurut Pasal 1 angka 2 UU Pelayanan Publik, Penyelenggaran
Pelayanan Publik adalah:

“Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.”

Proses Ajudikasi

Ajudikasi adalah
salah satu cara dalam usaha penyelesaian sengketa antara  para pihak melalui peran pihak ketiga, yang
mana pihak ketiga dipilih langsung oleh para pihak yang bersengketa untuk
menetapkan keputusan dari perkara yang dipersengketakan. Menurut Andreas
Soeroso, secara sosiologi ajudikasi memiliki makna tindakan yang dilakukan guna
mencapai suatu kesepakatan melalui jalur peradilan jika antara kedua belah
pihak yang bersengketa berselisih pendapat dan saling merasa paling benar.
Kesepakatan yang akan dicapai bisa ditempuh dengan jalan melalui peradilan dan
diputus dengan penguatan dari bukti-bukti dan alasan tertentu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ajudikasi adalah
kata serapan dari Bahasa Inggris Adjudication, yang diartikan sebagai:

“Adjudication is the legal process by which an arbiter or judge reviews evidence and argumentation including legal reasoning forth by opposing parties or litigants to come to a decision which determines rights and obligations between the parties involved. “

Pengertian lain
mengemukakan:

“The act of giving a judicial ruling such as a judgment or decree.”[1]

Berdasarkan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman (“UU Ombudsman”), Ombudsman memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
permasalahan ganti rugi akibat sengketa terhadap pelayanan publik dengan
ajudikasi khusus, jika tidak bisa diselesaikan secara mediasi dan konsiliasi.
Penyelesaian ini hanya menyangkut atas permasalahan ganti rugi dari sengketa
yang sudah diputuskan oleh Ombudsman. 
Tata cara permohonan sidang dengan ajudikasi khusus yaitu diajukan oleh
pelapor atau pihak yang mewakili dengan disampaikan secara tertulis. Permohonan
tersebut ditujukan kepada Ketua Ombudsman atau kepada Kepala Perwakilan Ombudsman
untuk yang ada di Daerah. 

Sebagaimana yang
sudah disinggung sedikit sebelumnya, berdasarkan UU Pelayanan Publik, proses
penyelesaian sengketa Pelayanan Publik dilakukan melalui beberapa mekanisme:

1. Proses
penyelesaian sengketa pelayanan publik yang dilakukan di dalam dan oleh
penyelenggara pelayanan publik itu sendiri. Dilaksanakan sesuai peraturan
perundangan yang berlaku, dengan mengambil bentuk Administratief Beroep (upaya administratif), secara berjenjang
berupa keberatan administratif dan banding administratif.

2. Proses
penyelesaian sengketa pelayanan publik yang dilakukan oleh Ombudsman:

a. Mediasi

b. Ajudikasi

3. Proses
penyelesaian sengketa pelayanan publik yang dilakukan oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) bila pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di
bidang tata usaha negara.

Berdasarkan paparan
tersebut di atas, berarti ajudikasi oleh Ombudsman dalam penyelesaian sengketa
pelayanan publik hanyalah salah satu kemungkinan dari beberapa kemungkinan
penyelesaian sengketa pelayanan publik.[2]

Dalam proses
penyelesaian sengketa pelayanan publik yang dilakukan Ombudsman, Ombudsman akan
berlaku sebagai hakim dan sebagai penyelesaian terhadap sengketa yang ada akan
dikeluarkan putusan yang dalam hal ini dianggap sebagai putusan hakim yang
berlaku bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini sebenarnya tidak
diatur sebagai salah satu kewenangan Ombudsman sebagaimana diatur dalam Pasal 7
dan Pasal 8 UU Ombudsman mengenai tugas dan wewenang Ombudsman. Namun, ketentuan
pasal 7 huruf h UU Ombudsman yang mengatur bahwa salah satu tugas Ombudsman
adalah “melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang” merupakan pintu
masuk bagi UUPelayanan Publik untuk memberikan wewenang kepada Ombudsman untuk
menjadi tempat penyelesaian sengketa pelayanan publik.

Hal ini kemudian
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 002
Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan, khusus
mengenai ajudikasi diatur dalam pasal 46 ayat (4) dan Pasal 68 ayat (2). Tetapi
kedua pasal tersebut tidak merinci secara jelas bagaimana prosedur pelaksanaan
penyelesaian sengketa pelayanan publik secara ajudikasi. Ketentuan mengenai
mediasi dan konsiliasi justru diatur secara terperinci dalam Peraturan
Ombudsman. Padahal untuk tata cara Ajudikasi Ombudsman dalam penyelesaian
sengketa pelayanan publik harus diatur dalam Peraturan Ombusman, sebagaimana
ketentuan pasal 50 ayat (7) UU Pelayanan Publik yang berbunyi:

“Dalam melaksanakan ajudikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5), mekanisme dan tata caranya diatur lebih lanjut oleh peraturan Ombudsman”

Secara umum
ajudikasi yang akan diselenggarakan oleh Ombudsman berpotensi menimbulkan
beberapa masalah, terutama bila melihat adanya putusan, serupa putusan
pengadilan, sebagai hasil akhir dalam penyelesaian sengketa pelayanan publik
ini. Persoalannya adalah bagaimanakah kekuatan putusan ini, sebab Ombudsman
bukanlah lembaga pengadilan atau forum pengadilan seperti halnya arbitrase.
Ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Ombudsman mengatur bahwa hasil investigasi
Ombudsman hanyalah ‘Rekomendasi’.

Hal ini menunjukkan
bahwa produk Ombudsman dalam penyelesaian permasalahan yang dilaporkan kepada
Ombudsman (termasuk sengketa pelayanan publik) tidaklah berbentuk “putusan”,
melainkan rekomendasi. Memang rekomendasi Ombudsman “bersifat wajib”, sebagaimana
ketentuan pasal 38 ayat (1) UU Ombudsman yang berbunyi:

“Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman.“

Serta ketentuan
pasal Pasal 39 UU Ombudsman yang berbunyi:

“Terlapor dan atasan Terlapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), ayat (2), atau ayat (4) dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Adanya ketetentuan
penjatuhan sanksi administrasi bagi pihak yang mengabaikan rekomendasi
Ombudsman, menunjukan bahwa rekomendasi Ombudsman sekalipun bukan merupakan
suatu Keputusan Tata Usaha Negara, karena Ombudsman bukanlah bagian dan lembaga
eksekutif (Tata Usaha Negara), sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Ombudsman, yang
berbunyi:

 “Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.”

Tetapi dalam
pelaksanaan hasil rekomendasinya Ombudsman tergantung kepada kehendak dan
kemauan baik dari Tata Usaha Negara yang menerima rekomendasi tersebut. Lebih
lanjut dapat disimpulkan bahwa rekomendasi Ombudsman sekalipun “bersifat wajib”
tetapi belum tentu memiliki sifat “final dan mengikat” (final and binding) seperti halnya putusan dari proses ajudikasi
baik di pengadilan maupun di arbitrasi. Apalagi bila kita kaitkan dengan adanya
ketentuan penjatuhan sanksi administrasi bagi pihak yang mengabaikan
rekomendasi Ombudsman, baik terlapor sendiri atau atasan dari terlapor. Artinya
terhadap rekomendasi Ombudsman dapat diperlakukan upaya administrasi lebih
lanjut.

Rekomendasi
Ombudsman yang diikuti dengan sanksi administratif jelas berbeda dengan praktik
di beberapa Negara lain seperti, Swedia, Ethiopia dan New Zealand. Di negara
tersebut rekomendasi Ombudsman hanya mengikat secara moral (morally
binding)
. Hal ini dikarenakan tingginya kesadaran hukum badan publik di
Negara tersebut. Berbeda dengan Indonesia dimana rekomendasi Ombudsman 
yang sebelumnya hanya mengikat secara moral telah diperkuat agar mengikat
secara hukum (legally binding). 

Rekomendasi
Ombudsman dan putusan Pengadilan merupakan dua hal yang berbeda, rekomendasi
Ombudsman dikeluarkan oleh Ombudsman melalui proses pelaporan hingga dikeluarkan
rekomendasi yang dilakukan sendiri oleh Ombudsman, sedangkan putusan Pengadilan
adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim yang melewati proses pemeriksaan
secara pro justitia.

Proses penyelesaian
suatu perkara antara Ombudsman dan Pengadilan sebenarnya hampir sama. Di
Pengadilan diawali dengan gugatan/permohonan, kemudian jawab-menjawab, adanya
proses pembuktian, kesimpulan dan putusan. Sementara rekomendasi Ombudsman
diawali dengan laporan masyarakat/pemeriksaan inisiatif, klarifikasi dan
tanggapan (sama halnya dengan jawab-menjawab dalam tahapan
litigasi), pemeriksaan substantif, pemeriksaan
bukti-bukti, diputuskan dalam pleno anggota Ombudsman mengenai anjuran,
saran, perintah/larangan, ditambah penjatuhan sanksi administratif/ganti rugi
pelapor yang dirugikan. Keduanya sama-sama diselenggarakan dengan asas
keadilan, bedanya Pengadilan menggunakan asas sederhana, cepat, biaya ringan.
Sedangkan Ombudsman penyelesaian yang sederhana, cepat dan bebas dari biaya.

Dalam hal isi
putusan atau rekomendasi juga ada kemiripan yaitu asas putusan harus memuat
dasar yang jelas dan rinci dalam pertimbangannya. Sifat putusan kedua lembaga
bersifat mengikat para pihak dan pihak terkait. Dalam kedudukannya putusan
Pengadilan memiliki tiga macam kekuatan, yaitu:

1. Kekuatan Mengikat

Mengenai putusan
Pengadilan, jika empat belas hari setelah dibacakan dan tidak dlakukan upaya
hukum oleh para pihak maka putusan pengadilan tersebut memiliki kekuatan hukum
yang tetap yang harus dijalankan oleh para pihak dan memuat sanksi. Sedangkan
rekomendasi Ombudsman memiliki kekuatan mengikat sebagai anjuran, saran, atau
teguran.

2. Memiliki Kekuatan Pembuktian

Putusan dalam
bentuk tertulis yang merupakan akta otentik yang tidak lain bertujuan untuk
dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak. Meskipun putusan Pengadilan
tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga, namun mempunyai
kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga.

3. Kekuatan Executorial

Kekuatan
eksekutorial adalah putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan
atau sengketa atau menetapkan hak atau hukumnya saja, juga realisasi atau
pelaksanaannya (seksekusinya) secara paksa. Kekuatan eksekutorial para hakim
tidak dapat dilumpuhkan. Berbeda halnya dengan rekomendasi Ombudsman tidak
memiliki kekuatan eksekutorial yang kuat, sanksi yang diberikan apabila tidak
menjalankan rekomendasi Ombudsman hanya sanksi moral yaitu dipublikasikannya
terlapor atau atasan terlapor dan yang paling tinggi kekuatan eksekutorialnya
adalah berupa sanksi administrasi yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan.

Kekuataan mengikat
rekomendasi Ombudsman tidaklah sama dengan putusan Pengadilan. Walaupun tata cara
mulai dari adanya laporan hingga dikeluarkan rekomendasi Ombudsman tersebut
hampir sama dengan putusan pengadilan, tetapi rekomendasi Ombudsman tidak dapat
memuat sanksi tetapi hanya memuat saran (suggestion). Sedangkan putusan
Pengadilan dapat memuat sanksi dan dapat dieksekusi. Ombudsman tidak memiliki
kewenangan menuntut maupun menjatuhkan sanksi kepada instansi yang dilaporkan,
namun memberikan rekomendasi kepada instansi terlapor untuk melakukan koreksi
terhadap diri sendiri (self correction).

Dengan demikian,
secara eksplisit memang pada dasarnya dalam undang-undang dinyatakan bahwa
kewenangan Ombudsman bukanlah sebagai lembaga yang dapat memberikan sanksi
secara mutlak (execution), tetapi hanya sebatas memberikan saran agar
penyelenggara negara yang mendapatkan rekomendasi tersebut memperbaiki
kinerjanya. Ombudsman tidak dapat memberikan suatu bentuk sanksi kepada penyelenggara
negara yang telah mendapatkan rekomendasinya namun hanya menyampaikan kepada
atasan atau Presiden serta DPR untuk menindaklanjuti apabila terjadi dalam hal
rekomendasi Ombudsman tidak dilaksanakan.

Upaya Hukum

Berdasarkan
pembahasan sebelumnya, dinyatakan bahwa, kekuatan mengikat putusan ajudikasi
Ombudsman dalam penyelesaian sengketa pelayanan publik memiliki kekuatan hukum
hanya sebagai rekomendasi, maka sudah tentu terhadap putusan tersebut dapat
dilakukan upaya hukum lebih lanjut. Upaya hukum itu dapat dilaksanakan dengan
beberapa kemungkinan, yaitu:

  1. Mekanisme dalam UU Pelayanan Publik. Oleh karena proses penyelesaian sengketa pelayanan publik adalah bagian dari pengaduan dan pelaporan dari masyarakat terhadap pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara dan/atau pelaksana pelayanan publik, upaya hukum yang dapat dilakukan adalah bila hasil putusan ajudikasi Ombudsman tersebut diabaikan/tidak dilaksanakan oleh terlapor, maka terlapor dapat dilaporkan kepada instansi atasannya, dan terhadap yang bersangkutan dapat dikenai sanksi administrasi berupa teguran, penuruan gaji, penurunan jabatan, sampai pembebasan dari jabatan[3], dengan maksud agar pihak terlapor mau melaksanakan putusan ajudikasi Ombudsman. Upaya hukum ini serupa dengan bentuk administrateif beroep. Bila ternyata pada pihak yang mengabaikan putusan ajudikasi itu ditemukan adanya perbuatan melawan hukum atau tindak pidana, maka pihak tersebut dapat diajukan ke muka Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan Umum[4].
  2. Mekanisme dalam UU Ombudsman dan Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor: 002 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Dan Penyelesaian Laporan (“Peraturan Ombudsman No. 002/2009”). Dalam hal terlapor mengabaikan rekomendasi Ombudsman, berlaku ketentuan pasal 38 ayat (4) UU Ombudsman, yang berbunyi:

“Dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan Rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian Rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.”

Ketentuan ini
diatur lebih lanjut dalam Pasal 44 Peraturan Ombudsman No. 002/2009 yakni:

  1. Ombudsman memantau pelaksanaan rekomendasi
  2. Pemantauan pelaksanaan rekomendasi dilaksanakan sebelum tengat waktu 60 hari untuk melaksanakan rekomendasi berakhir
  3. Ombudsman melakukan pendekatan persuasif agar Terlapor melaksanakan rekomendasi Ombudsman
  4. Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari rekomendasi tidak ditindaklanjuti, Ombudsman menyampaikan rekomendasi kepada atasan Terlapor mengenai sikap terlapor yang mengabaikan rekomendasi Ombudsman
  5. Apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari atasan Terlapor tidak menindaklanjuti rekomendasi, Ombudsman dapat menyampaikan laporan kepada DPR/DPRD dan Presiden/Kepala Daerah
  6. Ombudsman dapat melakukan publikasi atas sikap Terlapor dan Atasannya yang tidak menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman

Terhadap pihak yang
mengabaikan rekomendasi ini, dapat dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 39 UU Ombudsman. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka dapat
disimpulkan upaya hukum terhadap rekomendasi Ombudsman adalah mekanisme upaya
administratif yang berujung dengan penjatuhan sanksi administrasi, dan
berdasarkan pembahasan di atas, hal tersebut menguatkan asumsi bahwa
penyelesaian sengketa pelayanan publik melalui mekanisme ajudikasi di Ombudsman
masih harus dikaji lebih lanjut.

Semoga bermanfaat.

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES


[1] http://dictionary.law.com/Default.aspx?selected=2328
diakses pada 8 Juli 2020

[2] Pasal 36 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (1) UU Pelayanan Publik

[3] Pasal 54 UU Pelayanan Publik

[4] Pasal 52, Pasal 53, Pasal 55 s.d. Pasal 58 UU Pelayanan Publik


Share this article