Share this article

Sejarah Pendirian Lembaga Arbitrase

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Di Indonesia, lembaga yang melayani sengketa perdagangan secara arbitrase adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau sering dikenal dengan nama BANI. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pertama kali berdiri pada tahun 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Pendirian BANI dimaksudkan untuk menjembatani sengketa perdagangan atau jenis lainnya tanpa harus menempuh jalur di pengadilan.

Selama berpuluh-puluh tahun BANI terus berkembang dengan menghadirkan arbiter terbaik dari dalam dan luar negeri. Arbiter ini memiliki keahlian sendiri-sendiri dan akan menangani perkara yang lebih spesifik.

Minat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase sendiri meningkat semenjak diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU AAPS”).

Maraknya Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase

Berikut adalah alasan mengapa banyaknya pembatalan putusan arbitrase diajukan:

1. Para Pihak memiliki hak untuk mengajukan pembatalan putusan artbitrase

Mengacu pada Pasal 70  UU AAPS, putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

  1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
  2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
  3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa

Di samping itu, Reglement op de Rechtvordering (“Rv”) yang hingga saat ini masih berlaku juga memberikan kemungkinan pembatalan putusan arbitrase. Pasal 643 Rv menyebutkan secara limitatif alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase sebagai berikut:

  1. apabila putusan melampaui batas-batas  persetujuan;  
  2. apabila putusan berdasar persetujuan yang batal atau telah lewat waktunya;
  3. apabila putusan diambil oleh anggota arbitrator yang tidak berwenang atau oleh anggota arbitrator yang tidak dihadiri oleh anggota arbitrator yang lain;
  4. apabila putusan telah mengabulkan atau memutus mengenai hal-hal yang tidak dituntut atau telah mengabulkan lebih dari apa yang dituntut (ultra petita pertium);
  5. apabila putusan mengandung saling bertentangan antara pertimbangan yang satu dengan yang lain, atau, saling bertentangan antara pertimbangan dengan dictum putusan;
  6. apabila majelis arbitrase melalaikan untuk memutus tentang suatu atau beberapa bagian dari persetujuan padahal itu telah diajukan untuk diputus;
  7. apabila majelis melanggar tatacara beracara menurut hukum yang diancam dengan batalnya putusan;
  8. apabila putusan didasarkan pada surat-surat yang palsu dan kepalsuan itu diakui atau dinyatakan palsu sesudah putusan dijatuhkan;
  9. apabila setelah putusan dijatuhkan ditemukan surat-surat yang bersifat menentukan dan selama proses pemeriksaan disembunyikan para pihak;
  10. apabila putusan didasarkan atas kekurangan atau itikad buruk yang hal itu baru diketahui setelah putusan dijatuhkan.
2. Hakim tidak dapat menolak perkara

Sistem hukum Indonesia menentukan bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan dalih tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya. Bahkan, Pasal 22 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (Peraturan Umum mengenai Peraturan Perundang-Undangan untuk Indonesia; AB) dengan keras menyatakan hakim yang menolak untuk mengadakan keputusan terhadap perkara dengan dalih undang-undang tidak mengaturnya, terdapat kegelapan atau ketidaklengkapan dalam undang-undang, dapat dituntut karena menolak mengadili perkara.

Pasal 16 (1) UU No. 4/2004 tentang Kekuasan Kehakiman pun menentukan bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehubungan dengan masalah pembatalan putusan arbitrase ini untungnya tidak sulit ditemui, karena sudah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat, baik nasional maupun internasional, bahkan jauh sebelum UU Arbitrase diberlakukan.

Karena adanya celah dan/atau kesempatan sebagaimana tersebut di atas, maka para pihak yang kalah dalam perkaranya di arbitrase cenderung untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase dengan harapan dikabulkannya pembatalan tersebut atau setidaknya dapat “buying time” hingga pembatalan putusan arbitrase tersebut selesai diperiksa di Pengadilan.

Prosedur Mengajukan Pembatalan Putusan Arbitrase di Pengadilan

Sesuai Pasal 71 UU AAPS, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera PN.

Pasal 72 ayat (1), (2), dan (3) UU AAPS mengatur permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua PN. Apabila dikabulkan, Ketua PN menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Putusan pembatalan ditetapkan Ketua PN dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan diajukan.

Mengacu Pasal 72 ayat (4) UU AAPS, terhadap pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung (MA). Putusan banding itu merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir. Berdasarkan penjelasan Pasal 72 ayat (4), yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud Pasal 70.

Dengan kata lain, tidak ada upaya hukum lanjutan setelah banding, apalagi Peninjauan Kembali (PK). Begitu juga dengan putusan PN yang menolak pembatalan putusan arbitrase. Terhadap putusan tersebut tidak tersedia upaya hukum banding maupun PK. Sebab, sudah tegas dalam penjelasan Pasal 72 ayat (4) UU AAPS, banding hanya dapat diajukan terhadap pembatalan putusan arbitrase.

Faktanya, masih ada saja pihak yang merasa tidak puas, sehingga mengajukan banding (untuk putusan PN yang menolak pembatalan putusan arbitrase) dan PK (untuk putusan PN yang membatalkan putusan arbitrase) ke MA. PN pun menerima pengajuan kedua upaya hukum itu, lalu meneruskannya ke MA.

Berdasarkan hal ini maka dapat terlihat bahwa cukup panjangnya waktu yang harus ditempuh oleh para pihak hingga putusan terkait pembatalan putusan arbitrase berkekuatan hukum tetap sehingga penyelesaian sengketa arbitrase menjadi jauh lebih panjang dari semestinya.

Beberapa Ulasan Putusan Pengadilan Terkait Pembatalan Putusan Arbitrase

1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 513/Pdt.G.ARB/2018/PN.Jkt.Sel

Para Pihak:

  • PT Grage Trimitra Usaha (Pemohon)
  • Shimizu Corporation dan PT Hutama Karya (Persero) Joint Operation (Termohon)

Pertimbangan Hukum:

Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini yang akan dipertimbangkan, yaitu :

  1. Apakah setelah Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor 854/V/ARB-BANI/2016, tanggal 24 Mei 2018, ada ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak Termohon ?
  2. Apakah Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor 854/V/ARB-BANI/2016, tanggal 24 Mei 2018, diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh pihak Termohon dalam pemeriksaan sengketa ?

Berikut adalah perimbangannya:

1. Apakah setelah Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor 854/V/ARB-BANI/2016, tanggal 24 Mei 2018, ada ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak Termohon ?

Terkait hal ini, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa setelah memeriksa bukti-bukti yang diajukan, terdapat surat-surat bukti yang merupakan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kontrak-kontrak antara Termohon dan Subkontraktor/Supplier, yang ternyata dokumen-dokumen tersebut  tidak diajukan atau disembunyikan oleh Termohon yang mana menurut Majelis Hakim dokumen tersebut merupakan dokumen yang menentukan.

Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, Majelis Hakim berpendapat alasan pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor : 854/V/ARB-BANI/2016 tanggal 24 Mei 2018 yang diajukan oleh Pemohon dengan alasan ada ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh Termohon setelah adanya putusan secara hukum telah terbukti.

2. Apakah Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor 854/V/ARB-BANI/2016, tanggal 24 Mei 2018, diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh pihak Termohon dalam pemeriksaan sengketa ?

Terkait hal ini, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menerangkan bahwa Pasal 70 huruf c UU AAPS tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian atau definisi dari “tipu muslihat ”, namun menurut  Ahli Dr. Susanti Adinugroho, S.H., M.H. dalampersidangan  menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “tipu muslihat” adalah suatu tindakan merekayasa suatu keadaan yang tidak benar diposisikan menjadi benar melalui suatu bukti yang diajukan di persidangan arbitrase.

Pengertian tipu muslihat secara yuridis yaitu apabila sesuatu hal yang dikemukakan benar seolah olah tidak benar atau dengan rangkaian yang mewujudkan sesuatu tidak benar menjadi benar.

Dalam Perkara ini, Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan, telah terbukti dan tidak terbantahkan bahwa Termohon sudah melakukan tipu muslihat dalam persidangan Perkara Arbitrase. Sehingga menurut hemat Majelis Hakim unsur tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon dalam proses Arbitrase sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 70 huruf c UU AAPS dapat dibuktikan dan alasan pembatalan  Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)  Nomor : 854/V/ARB-BANI/2016 tanggal 24 Mei 2018  yang diajukan oleh Pemohon dengan alasan putusan arbitrase diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon  dalam pemeriksaan sengketa patutlah untuk dikabulkan.

Dengan demikian dari pertimbangan yang diuraikan tersebut diatas, maka Majelis Hakim berpendapat Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)  Nomor : 854/V/ARB-BANI/2016 tanggal 24 Mei 2018 tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan untuk seluruhnya.

2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 45/Pdt.G.Arbit/2019/PN.Jkt.Pst.

Para Pihak:

  • Sekretaris Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Sekretaris Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Selaku Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Pengelola Hibah Mcc (Pemohon)
  • PT Carbontropic (Termohon I)
  • PT Agrotropic Nusantara (Termohon II)
  • PT Energytropic (Termohon III)
  • Arbiter BANI (Para Turut Termohon)

Pertimbangan Hukum:

Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa yang menjadi pokok perkara yang diajukan oleh Pemohon  adalah “Apakah Putusan Arbitrase Nomor : 981/X/ARB-BANI/2017 tanggal 26 November 2018 dapat dibatalkan secara hukum berdasarkan Pasal 70 UU AAPS?

Setelah memerikan pembelaan-pembelaan dan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, Majelis Hakim menjelaskan bahwa terdapat dokumen yang sifatnya menentukan tidak diajukan oleh para pihak yang bersengketa sehingga tidak pula dipertimbangkan oleh Para  Turut Termohon Arbitrase selaku Majelis Arbiter. Sehingga patut diduga bahwa Para Termohon telah menyembunyikan dikumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan sebagaimana ketentuan Pasal 70 huruf b UU AAPS.

Dengan dasar pertimbangan tersebut maka permohonan pembatalan Putusan Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia Nomor : 981/X/ARB-BANI/2017 tanggal 26 November 2018 yang diajukan oleh Pemohon layak untuk dikabulkan secara hukum karena sesuai dengan ketentuan Pasal 70 huruf b UU AAPS dengan menyatakan Membatalkan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor : 981/X/ARB-BANI/2017 tanggal 26 November 2018.

Membahas kajian terhadap Pasal 70 UU AAPS (kelemahan dan permasalahan yang timbul dalam praktik)

Pasal 70 UU AAPS merupakan dasar dari pembatalan putusan arbitrase. Sebelumnya Pasal 70 UU AAPS dan penjelasannya menuai banyak kontroversi. Namun, terhadap pasal tersebut dan penjelasannya telah diajukan uji konstitusional. Melalui Putusan No. 15/PUU-XII/2014 tanggal 11 November 2014, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penjelasan Pasal 70 UU AAPS bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 70 UU AAPS menyatakan:

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”

Penjelasan Pasal 70 UU AAPS berbunyi:

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasanalasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”

Pokok permasalahan dalam pengujian konstitusional tersebut adalah kata “diduga” dalam Pasal 70 UU AAPS dan frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” dalam penjelasan Pasal 70 UU AAPS. Kata “diduga”, menurut Mahkamah Konstitusi, memberikan pengertian hukum mengenai kaidah bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya dugaan pemohon yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase mengenai terjadinya alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Dugaan pemohon bersifat hipotetis, subjektif, sepihak, dan apriori.

Sedangkan frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” yang terdapat dalam penjelasan pasal tersebut memberikan pengertian hukum bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya alasan yang dimaksud dalam pasal tersebut, telah dibuktikan dengan putusan pengadilan. Padahal, putusan pengadilan bersifat posteriori.

Dengan kata lain, penjelasan tersebut mengubah norma pasal dan menimbulkan norma baru. Norma dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori, sedangkan dalam penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori.

Putusan Mahkamah Konstitusi di atas telah menghapuskan keambiguitasan dari Pasal 70 UU AAPS.

Berikut adalah amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut:

  • Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Penjelasan Pasal 70 UU AAPS tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Apa dampak yang mungkin timbul dari tren tersebut terhadap pemilihan forum dalam perjanjian (dapat disertai dengan pengalaman terkait – jika ada)

Berdasarkan sharing yang kami dengar secara langsung dari klien kami yang adalah perusahaan PMA, bahwa dahulu perusahaan mereka cenderung untuk memilih BANI sebagai forum penyelesaian sengketa. Akan tetapi, seiring waktu, mereka tidak lagi memilih BANI sebagai forum penyelesaian sengketa karena:

  1. Putusan BANI “rentan” dibatalkan dengan permohonan ke Pengadilan.
  2. Beberapa kali Putusan BANI yang mereka alami, sifatnya “win-win” bagi kedua pihak, padahal mereka sangat yakin dengan argumen dan bukti yang mereka punya.

Karena itu, perusahaan mereka lebih cenderung untuk memilih Pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa, bukan BANI lagi.

Membahas solusi untuk mengatasi permasalahan (termasuk solusi yang diharapkan dari sisi pengadilan)

Dari sisi lembaga arbitrase lokal seperti BANI diharapkan agar arbiternya tidak cenderung mengeluarkan putusan yang bersifat “win-win” tapi lebih mencerminkan keadilan sesuai dengan informasi, dalil dan bukti serta saksi dalam persidangan di BANI.

Selanjutnya, supaya menghilangkan keraguan bahwa lembaga arbitrase adalah lembaga yang berhak mengeluarkan putusan yang final, mengikat dan tidak dapat dibatalkan oleh lembaga lain, termasuk pengadilan, maka peluang untuk membatalkan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU AAPS dieliminir. Untuk bisa mencapai hal ini lembaga arbitrase lokal perlu membuat sebuah mekanisme yang terukur untuk memastikan bahwa bukti-bukti yang diajukan selama persidangan di arbitrase adalah bukti-bukti yang bukan berasal dari pemalsuan dll sebagaimana yang diatur dalam Pasal 70 tersebut.

Erman Rajagukguk berpendapat bahwa hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70 UU AAPS) dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan bersama para pihak. Dasarnya adalah Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dari sisi Pengadilan, jika ada good will untuk mengakui lembaga arbitrase sebagai lembaga yang memiliki kompetensi untuk mengeluarkan putusan yang final dan mengikat atau berkekuatan hukum tetap, sebaiknya pengadilan sebisa mungkin tidak mengakomodir atau mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Dengan demikian, pihak yang kalah di arbitrase semakin hari semakin enggan untuk ajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan.

Demikian disampaikan, semoga bermanfaat.

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES

LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp

Artikel Ini disampaikan dalam Webinar Arbitrase Domesik yang diselenggarakan oleh Forum Praktisi Arbitrasi Indonesia tanggal 19 Maret 2021, oleh Partner kami:

Fredrik J Pinakunary
linkedIn: Fredrik J Pinakunary


Share this article