Beberapa kali kita mendengar berita tentang bangunan roboh, baik seluruh bagunan tersebut roboh atau hanya sebagian dari bangunan tersebut. Contoh, ambruknya selasar BEI pada tahun 2018 silam yang menjadi sorotan nasional karena mengakibatkan korban luka hingga lebih dari 70 orang. Lalu di tahun yang sama juga terjadi insiden serupa, yakni ambruknya perimeter Bandara Soekarno Hatta yang sampai menelan korban jiwa.
Dalam undang-undang, robohnya bangunan atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil bangunan dikenal dengan istilah kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan ini sangat berbahaya bagi orang yang berada di dalam atau di sekitar bangunan karena dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Lalu, siapakah yang dapat dimintakan tanggung jawab atas kegagalan bangunan?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU Jasa Konstruksi”), dalam setiap penyelenggaraan jasa konstruksi[1], Pengguna Jasa[2] dan Penyedia Jasa[3] wajib memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. Apabila hal ini tidak dipenuhi, maka Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa dapat menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap kegagalan bangunan.
Tanggung jawab atas kegagalan bangunan meliputi:
1. Penggantian atau perbaikan kegagalan bangunan oleh Penyedia Jasa
Penyedia Jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan yang disebabkan kesalahan Penyedia Jasa. Penggantian atau perbaikan kegagalan bangunan oleh Penyedia Jasa ini dapat dialihkan kepada pihak ketiga berupa asuransi.
2. Pemberian ganti kerugian oleh Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa
Selain wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan, Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa juga wajib memberikan ganti rugi apabila terjadi kegagalan bangunan. Ganti rugi ditetapkan oleh pihak yang berwenang berdasarkan laporan penilai ahli. Berdasarkan Pasal 90 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, ganti rugi yang dimaksud meliputi:
- santunan bagi pihak yang dirugikan yang meninggal dunia;
- santunan bagi pihak yang dirugikan yang menderita luka yang mengakibatkan cacat tetap;
- ganti kerugian atas biaya pengobatan yang nyata-nyata dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau bagian biaya pelayanan lainnya; dan
- ganti kerugian atas musnah, rusak, atau hilangnya akibat kegagalan bangunan.
Proses ganti kerugian yang dilakukan oleh Penyedia Jasa harus dimulai dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Pemberian ganti kerugian dapat dialihkan kepada pihak ketiga berupa asuransi.
Kegagalan bangunan ditetapkan oleh penilai ahli yang penetapannya bersifat finaI dan mengikat. Tugas penilai ahli antara lain:
- menetapkan tingkat kepatuhan terhadap standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi;
- menetapkan penyebab terjadinya kegagalan bangunan;
- menetapkan tingkat keruntuhan dan/atau tidak berfungsinya bangunan;
- menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan;
- melaporkan hasil penilaiannya kepada menteri dan instansi yang mengeluarkan izin membangun, paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan tugas; dan
- memberikan rekomendasi kebijakan kepada menteri dalam rangka pencegahan terjadinya kegagalan bangunan.
Tanggung jawab Penyedia Jasa atas kegagalan bangunan terbatas dalam jangka waktu yang ditentukan dalam rencana umur konstruksi yang harus dinyatakan dalam kontrak kerja konstruksi. Dalam hal rencana umur konstruksi lebih dari 10 (sepuluh) tahun, Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan jasa konstruksi. Lewat dari 10 tahun, maka tanggung jawab beralih kepada Pengguna Jasa konstruksi.
Sanksi Administratif
Apabila Penyedia Jasa tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan, maka Penyedia Jasa dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. Peringatan tertulis
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota mengenakan sanksi peringatan tertulis kepada Penyedia Jasa yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan.
b. denda administratif
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota mengenakan denda administratif kepada Penyedia Jasa yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan sebesar 5% (lima persen) dari nilai jaminan pelaksanaan.
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pengenaan sanksi peringatan
tertulis dan denda administratif, Penyedia Jasa tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memulai tindakan perbaikan kegagalan bangunan dan tidak membayar denda administratif maka dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan layanan jasa konstruksi.
d. pencantuman dalam daftar hitam
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pengenaan sanksi penghentian sementara kegiatan layanan jasa konstruksi, Penyedia Jasa tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memulai tindakan perbaikan kegagalan bangunan maka dikenai sanksi pencantuman dalam daftar hitam.
e. pembekuan izin
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pengenaan sanksi penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memulai tindakan perbaikan kegagalan bangunan maka dikenai sanksi pembekuan izin usaha.
f. pencabutan izin
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pengenaan sanksi pencantuman dalam daftar hitam dan pembekuan lzin Usaha, Penyedia Jasa tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memulai tindakan perbaikan kegagalan bangunan maka dikenai sanksi pencabutan izin usaha.
Semoga bermanfaat.
FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES
LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp
Artikel ini juga tersedia dalam versi bahasa Inggris : Building Failure Responsibility
Artikel Terkait Lainnya
- Jaminan-Jaminan Utang dalam Hukum Indonesia
- Kompensasi Keterlambatan Kereta Api Antarkota
- Permasalahan Perjanjian Tidak Tertulis
- Aturan Baru Bea Meterai
- Tanggung Jawab Kegagalan Bangunan
- Perkawinan yang Dilarang di Indonesia
- Hak dan Upaya Hukum bagi Para Pihak yang Terdampak karena Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
- Harta Bersama dalam Perkawinan dan Implikasinya dalam Kegiatan Usaha
- Keabsahan Tanda Tangan Elektronik
- Kepemilikan Tanah, Rumah, dan Rumah Susun bagi Warga Negara Asing di Indonesia
- Itikad Baik Pembeli Tanah dan Perlindungan Hukum atas Tuntutan Pihak Ketiga
- Terlindungi: Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Jual Beli Tanah
- Membahas Wanprestasi Lebih Dalam
- Mengenal Hak-Hak atas Tanah menurut Hukum Agraria
- Bukti Surat Dalam Hukum Perdata
- Batasan-Batasan Terhadap Konten Yang Harus Diketahui oleh Para Konten Kreator
- Pandemi COVID-19 dan Force Majeure (Overmacht)
- Pemeriksaan Setempat (descente)
- Perubahan Gugatan dalam Hukum Perdata Indonesia
- Kewajiban Hakim Mendamaikan Para Pihak Berperkara
- Doktrin Pemisahan (Separability Doctrine) Dalam Perjanjian Arbitrase
[1] Pasal 1 Angka 1 UU Jasa Konstruksi: “Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.”
[2] Pasal 1 Angka 5 UU Jasa Konstruksi: “Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi.”
[3] Pasal 1 Angka 6 UU Jasa Konstruksi: “Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi.”