Share this article

Selalu menjadi pertanyaan, apakah perjanjian tidak tertulis diperbolehkan? Bolehkah membuat perjanjian tanpa ada hitam di atas putih?

Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu hal tertentu;
  4. suatu sebab yang halal.

Keempat syarat tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 1321 hingga pasal 1337 KUHPerdata. Tetapi, baik dalam keempat syarat di atas maupun pengaturan dalam pasal 1321-1337 KUHPerdata, tidak ada syarat bahwa suatu perjanjian harus/wajib untuk dibuat dalam bentuk tertulis.

Dengan demikian, membuat perjanjian tanpa ada hitam di atas putih, atau secara lisan saja diperbolehkan. Perlu juga diperhatikan bahwa sekalipun perjanjian tersebut hanya secara lisan, syarat-syarat dalam KUHPerdata (pasal 1320-1337 KUHPerdata) harus terpenuhi.

Namun, ada hal yang perlu dipertimbangkan apabila hendak membuat perjanjian tetapi tidak mau membuatnya secara tertulis. Pertama, masalah ketika harus melakukan pembuktian perjanjian tersebut dalam hal terjadi sengketa di pengadilan. Kedua, adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan perjanjian-perjanjian tertentu dibuat dalam bentuk tertulis.

I. Permasalahan Pembuktian Perjanjian Tidak Tertulis

Permasalahan dengan perjanjian yang tidak tertulis baru muncul apabila dalam perjalanannya salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang disepakati. Pihak yang dirugikan bisa menuntut agar pihak lainnya memenuhi kesepakatan ataupun menuntut ganti kerugian apabila ia telah mengalami kerugian. Tuntutan ini bisa dilakukan secara kekeluargaan ataupun melalui pengajuan suatu gugatan ke pengadilan.

Apabila salah satu pihak mengajukan gugatan ke pengadilan, maka menurut undang-undang, pihak yang menggugat memiliki kewajiban untuk membuktikan dalil-dalilnya. Hal ini diatur dengan tegas dalam ketentuan Pasal 1853 KUHPerdata, dan juga Pasal 163 Herziene Inlandsch Reglement (HIR)/pasal 283 Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java En. Madura (RBg.).[1] Ketentuan Pasal 1853 KUHPerdata dapat dikutip sebagai berikut:

Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna menegaskan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Dengan demikian apabila salah satu pihak mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut pihak lainnya karena sudah melanggar perjanjian, pihak yang mengajukan gugatan harus membuktikan: pertama, ada perjanjian antara penggugat dengan tergugat, dan kedua, pihak tergugat telah melanggar perjanjian tersebut. Selain itu apabila pihak penggugat mau menuntut ganti rugi, perlu juga dibuktikan adanya kerugian akibat pelanggaran pihak tergugat.

Pembuktian ini penting karena akan menentukan apakah pihak yang mengajukan gugatan dapat memperoleh hak-haknya atau tidak. Jika ia dapat membuktikan adanya pelanggaran perjanjian dan adanya kerugian, maka ia dapat memperoleh hak-haknya berupa penggantian kerugian dan juga menuntut agar pihak tergugat untuk memenuhi perjanjiannya.

Untuk membuktikan kedua hal di atas, penggugat perlu mengajukan alat bukti. Berdasarkan ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR/284 RBg, alat bukti yang dapat digunakan untuk pembuktian adalah:

  1. bukti tulisan/surat;
  2. saksi-saksi;
  3. persangkaan;
  4. pengakuan;
  5. sumpah.
Perjanjian Tertulis sebagai Alat bukti tulisan

Yang perlu diketahui adalah dengan adanya hitam di atas putih, atau perjanjian yang dibuat secara tertulis, maka perjanjian yang tertulis tersebut termasuk ke dalam alat bukti tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR/284 RBg. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1867 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:

Pembuktian dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan”  

Dengan demikian, tanpa adanya penjanjian yang dibuat dengan tertulis, maka pihak penggugat tidak mempunyai bukti tertulis yang utama untuk membuktikan bahwa ada perjanjian antara penggugat dengan tergugat. Lebih lanjut, akan menjadi kesulitan lagi untuk membuktikan bahwa tergugat telah melanggar perjanjian tersebut. Ini adalah permasalahan dan resiko yang dimiliki oleh para pihak apabila membuat perjanjian yang tidak tertulis.

Walaupun demikian, penggugat masih memiliki pilihan untuk membuktikan adanya perjanjian tersebut dengan alat bukti lainnya, seperti saksi, persangkaan, pengakuan, dan juga sumpah.

Perlu ditekankan, bahwa apabila penggugat tetap tidak dapat membuktikan adanya perjanjian antara penggugat dan tergugat, maka resikonya adalah gugatan dari penggugat dapat ditolak oleh majelis hakim, dan dengan demikian penggugat tidak akan dapat menuntut hak-hak penggugat sebagaimana dalam perjanjiannya ataupun untuk memperoleh ganti kerugian.

Catatan tentang Bukti Surat

Sebagai catatan, KUHPerdata membagi lagi alat bukti tulisan menjadi dua, yaitu: akta otentik dan akta bawah tangan. Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu dibuat (Pasal 1868 KUHPerdata). Contoh akta otentik adalah akta Notaris atau Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).  Sebaliknya akta bawah tangan adalah akta-akta yang dibuat dan ditandatangani para pihak saja, dengan kata lain tidak dibuat di hadapan pegawai umum.

Dalam permasalahan pembuktian, kekuatan pembuktian antara akta otentik dan akta bawah tangan berbeda. Akta otentik memiliki pembuktian sempurna, maksudnya adalah apabila perjanjian dibuat dengan akta Notaris, maka dengan mengajukan bukti perjanjian dalam akta notaris tersebut saja sudah dapat membuktikan adanya perjanjian di antara para pihak. Sebaliknya, akta bawah tangan baru dapat menjadi alat bukti yang sempurna apabila akta tersebut diakui oleh tergugat.

Pembuktian dengan Saksi

Tanpa adanya bukti perjanjian tertulis, penggugat tetap bisa membuktikan adanya perjanjian dengan menghadirkan saksi. Terdapat suatu prinsip terkait pembuktian dengan saksi, yakni, unus testis nullus testis, yang dapat diartikan bahwa satu saksi saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu. Hal ini diatur dalam pasal 1905 KUHPerdata yang berbunyi:

Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti yang lain, di muka Pengadilan tidak boleh dipercaya.”

Dengan demikian dalam hal tidak ada bukti tertulis berupa perjanjian tertulis maka apabila penggugat hendak membuktikan adanya perjanjian, perlu setidaknya dua saksi, atau seorang saksi dan juga alat bukti lainnya, seperti persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Pembuktian dengan Pengakuan dari Tergugat

Tanpa adanya bukti perjanjian secara tertulis, penggugat tidak akan kesulitan membuktikan adanya perjanjian apabila tergugat mengakui dalil yang diajukan oleh penggugat bahwa adanya perjanjian antara penggugat dan tergugat.

Dalam KUHPerdata, pengakuan diatur dalam pasal 1925, yakni:

“Pengakuan yang diberikan di hadapan Hakim, merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap orang yang telah memberikannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang diberi kuasa khusus untuk itu.”

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (“MARI”) Nomor 497 K/SIP/1971 tanggal 1 September 1971 juga menegaskan sebagai berikut:

“Adanya pengakuan Tergugat dianggap gugatan telah terbukti”.

Sebagaimana diatur di atas, pengakuan yang diberikan di hadapan hakim merupakan suatu pembuktian yang sempurna, yang artinya dengan diakuinya oleh tergugat maka sudah cukup untuk membuktikan adanya suatu hal yang didalilkan oleh penggugat, dan juga alat-alat bukti lainnya tidak diperlukan lagi. Dengan demikian, sekalipun tidak ada bukti hitam di atas putih, atau perjanjian secara tertulis, apabila tergugat telah mengakui tentang adanya perjanjian tersebut, maka itu sudah cukup untuk membuktikan adanya perjanjian antara penggugat dan tergugat, dengan demikian tidak diperlukan bukti lainnya lagi untuk membuktikan adanya perjanjian.

II. Perjanjian-Perjanjian yang Wajib dalam bentuk Tertulis

Apa yang dijelaskan di atas adalah pengaturan yang umum. Ada juga pengaturan yang khusus, yaitu terhadap perjanjian-perjanjian yang spesifik, yang mana mengatur bahwa perjanjian tersebut ‘wajib’ dibuat secara tertulis, bahkan wajib dibuat dalam bentuk akta otentik.

Sebagai contoh adalah perjanjian jual-beli tanah. Dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) telah diatur bahwa jual-beli tanah hanya dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Tanah adalah benda yang kepemilikannya perlu didaftarkan di kantor pertanahan. Oleh karenanya apabila terjadi peralihan hak milik tanah karena jual-beli, peralihan ini juga perlu untuk didaftarkan di kantor pertanahan. Sebagaimana dalam pasal 37 ayat 1 PP 24/1997 tersebut maka jual beli tanah tidak dapat didaftarkan jika jual beli tersebut dibuat dalam bentuk tidak tertulis atau hanya dibuat oleh para pihak saja (akta bawah tangan), melainkan harus dibuat dalam bentuk akta otentik (akta PPAT).

Contoh lainnya adalah Perjanjian Pengikatan jual beli rumah atau rumah susun dari developer. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah mewajibkan Perjanjian Pengikatan jual beli rumah atau rumah susun dari developer tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris. Dengan demikian dalam perjanjian pengikatan jual beli rumah atau rumah susun dari developer tidak bisa apabila tidak tertulis, atau hanya sekedar dibuat antara para pihak saja.

Contoh yang sama juga terdapat dalam perjanjian Jaminan Fidusia. Sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dinyatakan secara tegas bahwa pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris. 

Demikian kami sampaikan.

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES

 

Temui dan Ikuti kami juga di media sosial kami
LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp


[1] Pasal 163 HIR/283 RBg.: Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.


Share this article