Share this article

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menghapus dua meterai, yaitu meterai Rp 3.000 dan Rp 6.000, berlaku mulai Januari 2021. Namun, sepanjang tahun 2021, kedua meterai tersebut masih bisa digunakan sambil menunggu meterai Rp 10.000 dirilis pemerintah. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan meterai Rp 3.000 ribu dan Rp 6.000 masih bisa digunakan tetapi dengan minimal nilai Rp 9.000 hingga akhir 2021. Aturan baru mengenai Bea Meterai tesebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai yang mencabut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (“UU Bea Meterai”).

A)  Objek dan Non Objek Bea Meterai 

Perluasan objek Bea Meterai terletak pada perluasan definisi dokumen yang menjadi objek Bea Meterai, yang tidak hanya mencakup dokumen dalam bentuk kertas, tetapi termasuk juga dokumen dalam bentuk elektronik. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan kesetaraan fungsi antara dokumen elektronik dan dokumen kertas sehingga asas keadilan dalam pengenaan Bea Meterai dapat dilakukan secara proporsional.

Objek Bea Meterai merupakan Bea Meterai digunakan atas dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata, dan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Dokumen yang bersifat dokumen perdata meliputi ;

  1. surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
  2. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
  3. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
  4. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun;
  5. dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  6. dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
  7. dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang menyebutkan penerimaan uang; berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; dan
  8. dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan Non Objek Bea Meterai merupakan Bea Meterai tidak dikenakan atas Dokumen yang berupa:

  1. dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang, meliputi a) surat penyimpanan barang; b) konosemen; c) surat angkutan penumpang dan barang; d) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; e) surat pengiriman barang untuk dijual  atas tanggungan pengirim; dan f) surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e;
  2. segala bentuk ijazah;
  3. tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
  4. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  6. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
  7. dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
  8. surat gadai;
  9. tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
  10. dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.

B)  Tarif Bea Meterai 

Dalam Pasal 5 UU Bea Meterai diatur dokumen-dokumen yang menjadi objek bea meterai dan dikenai bea meterai dengan tarif tetap senilai Rp 10.000. Tarif dalam Pasal 5 UU tersebut berbeda dengan tarif yang ditetapkan pada aturan sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP nomor 24 tahun 2000, dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp 250.000 sampai dengan Rp 1.000.000 (satu juta Rupiah) dikenakan bea meterai dengan tarif senilai Rp 3.000. Sementara dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp 1.000.000 (satu juta Rupiah), meliputi surat perjanjian, akta-akta notaris dan akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dikenakan bea meterai dengan tarif senilai Rp 6.000.

UU Bea Meterai telah menyesuaikan batas nilai nominal Dokumen yang memuat jumlah uang yang dikenai Bea Meterai, penyesuaian dari yang semula Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) menjadi Rp 5.000.000,00 (lima juta Rupiah). Melalui ketentuan tersebut Pemerintah mengklaim adanya keberpihakan Pemerintah kepada masyarakat, khususnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah.

Terkait dengan transisi tarif bea meterai dari Rp 3.000 dan Rp 6.000 menjadi Rp 10.000, ketentuannya dapat dilihat pada Pasal 28 UU Bea Meterai yang mengatur tentang ketentuan peralihan dalam bea meterai, sebagai berikut:

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar yang dibuat sebelum Undang-Undang ini berlaku, Bea Meterainya tetap terutang dan dibayar berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
  2. Meterai tempel yang telah dicetak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan peraturan pelaksanaannya yang masih tersisa, masih dapat digunakan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini mulai berlaku dan tidak dapat ditukarkan dengan uang atau dalam bentuk apa pun.
  3. Meterai tempel yang digunakan untuk melakukan pembayaran Bea Meterai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dapat digunakan dengan nilai total Meterai tempel yang dibubuhkan pada Dokumen paling sedikit Rp 9.000,00 (sembilan ribu Rupiah).”

UU Bea Meterai terbaru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dapat disimpulkan, bea meterai pada Meterai tempel yang lama masih bisa digunakan sampai dengan satu tahun sejak berlakunya UU Bea Meterai atau maksimal pada 31 Desember 2021, dengan nilai total meterai minimal senilai Rp 9.000. Adapun nilai nominal meterai yang ada saat ini dapat dikombinasikan, baik 3 meterai Rp 3.000 (Rp9.000), meterai Rp3.000 dan Rp6.000 (Rp 9.000), maupun 2 meterai Rp 6.000 (Rp12.000).

C)  Bentuk meterai dalam UU Bea Meterai terbaru

UU Bea Meterai menyatakan pembayaran Bea Meterai yang terutang pada dokumen mencakup dokumen dalam bentuk kertas dan dokumen dalam bentuk elektronik (paperless). Pembayaran dilakukan dengan menggunakan Meterai atau Surat Setoran Pajak (SSP). Jika pembayaran menggunakan Meterai, maka dapat berupa ;

  1. Meterai tempel,
  2. Meterai elektronik,
  3. Meterai dalam bentuk lain, yang ditetapkan oleh Menteri atau wajib memperoleh izin Menteri, seperti Meterai yang dibuat dengan mesin teraan meterai digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya.

Melalui UU Bea Meterai, maka mulai juga diberlakukan Meterai elektronik atau e-Meterai, yakni meterai yang digunakan untuk Dokumen elektronik. Dalam UU Bea Meterai yang lama, jenis meterai hanya berupa Meterai tempel dan berbentuk kertas yang digunakan pada dokumen dalam bentuk fisik atau kertas.

Meterai elektronik digunakan untuk dokumen-dokumen yang bersifat elektronik, tanpa penggunaan kertas (paperless). Penggunaan Meterai elektronik dilatarbelakangi karena meningkatnya teknologi informasi saat ini dan juga sejalan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 8 Tahun 2011 pada Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah. Artinya, kedudukan dokumen elektronik ini disamakan dengan dokumen kertas, sehingga perlu kesamaan perlakuan pada dokumen kertas maupun dokumen elektronik.

Kementerian Keuangan akan menyediakan meterai elektronik atau e-meterai yang akan berfungsi untuk mengakomodir dokumen elektronik. Sementara itu, Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi Ditjen Pajak, Iwan Djunardi, mengatakan saat ini pihaknya tengah menyiapkan sistem untuk penjualan meterai elektronik atau e-meterai seperti pulsa elektronik, dan akan ada code generator yang dibuat dari sistem Ditjen Pajak yang akan didistribusikan ke sistem saluran lainnya. Iwan Djunardi mengatakan code generator akan disalurkan melalui channeling. Dan code generator akan diisikan ke e-wallet, berisi total nilai meterai yang sudah dibayar. Dia juga mengatakan saluran pertama yang tengah dikembangkan, yaitu pembayaran e-meterai menggunakan saluran elektronik yang memuat dokumen digital.

D)  Bea Meterai Saat Terutang

Bea meterai terutang artinya nominal dari Bea Meterai secara sah harus disetorkan ke Kas Negara. Lalu kapan Bea Meterai saat terutang? Berdasarkan UU Bea Meterai, Bea Meterai terutang pada saat:

  1. Dokumen dibubuhi Tanda Tangan pada:
    • surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
    • akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
    • akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
  2. Dokumen selesai dibuat untuk:
    • surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun;
    • dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  3. Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat, untuk:
    • surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan,atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
    • dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang,minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
    • dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) yang menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
  4. Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan;
  5. Dokumen digunakan di Indonesia, untuk Dokumen bersifat perdata yang dibuat di luar negeri.

Menteri dapat menentukan saat lain terutangnya Bea Meterai. Ketentuannya akan diatur lebih lanjut pada Peraturan Menteri.

E)  Subjek atau Pihak yang Terutang

Siapa subjek atau pihak terutang Bea Meterai? Pihak terutang Bea Meterai adalah pihak-pihak yang menerima manfaat atau mendapatkan manfaat dari dokumen. Pihak terutang Bea Meterai adalah:

  1. Penerima dokumen. Dokumen yang dibuat sepihak, terutang oleh pihak yang menerima dokumen. Dokumen ini seperti kuitansi.
  2. Masing-masing pihak. Dokumen yang dibuat oleh 2 pihak atau lebih, terutang oleh masing-masing pihak. Dokumen ini biasanya berupa perjanjian.
  3. Penerbit surat berharga. Dokumen berupa surat berharga terutang oleh pihak yang menerbitkan surat berharga.
  4. Pihak yang mengajukan dokumen ke pengadilan. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, Bea Meterai terutang oleh pihak yang mengajukan dokumen.
  5. Penerima manfaat atas dokumen. Dokumen yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, Bea Meterainya terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas dokumen tersebut. Jadi, pihak terutang artinya pihak yang memungut Bea Meterai. Pemungut Bea Meterai, contohnya perbankan dan retail. Pihak pemungut ini wajib menyetorkan Bea Meterai yang dipungutnya itu ke kas negara dan melaporkan hasil pemungutan dan penyetoran Bea Meterai tersebut ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

F)  Cara bayar Bea Meterai dan Pemeteraian Kemudian

1. Cara Pembayaran Bea Meterai

Bea meterai merupakan salah satu jenis pajak yang harus dibayarkan oleh pihak yang memiliki kepentingan untuk melakukan perbuatan hukum. Bea meterai merupakan pajak yang dikenakan atas dokumen. Dokumen yang dimaksud meliputi segala sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan. Setiap pihak yang berkepentingan atas dokumen-dokumen tersebut, wajib utuk membayar pajak yang dikenakan kepadanya atas dokumen-dokumen tersebut. Namun, timbul pertanyaan, bagaimanakah cara membayar bea meterai yang terutang tersebut?

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 UU Bea Meterai, pembayaran bea meterai yang terutang pada suatu dokumen dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan meterai atau surat setoran. Pembayaran bea meterai yang menggunakan surat setoran pajak dapat dilakukan apabila pembayaran bea meterai dengan menggunakan meterai dianggap tidak efisien atau bahkan tidak dimungkinkan karena keadaan tertentu. Adapun keadaan tertentu yang dimaksud salah satunya saat akan menggunakan dokumen sebagai alat bukti di pengadilan. Umumnya, dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan terdiri dari jumlah yang besar sehingga pembayaran dengan menggunakan meterai menjadi tidak efektif.

2. Pemeteraian Kemudian

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Bea Meterai, pemeteraian kemudian didefinisikan sebagai pemeteraian yang memerlukan pengesahan dari pejabat yang ditetapkan oleh menteri keuangan. Mengacu pada pasal 17 ayat (1) UU Bea Meterai, pemeteraian kemudian dilakukan untuk dokumen bersifat perdata yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar dan atau dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Pada prinsipnya, pihak yang wajib membayar bea meterai melalui pemeteraian kemudian adalah pihak yang terutang. Namun, untuk pembayarannya dapat dilakukan oleh pemegang dokumennya, baik sebagai pihak yang terutang maupun bukan pihak yang terutang.

G)  Fasilitas Pembebasan dari Pengenaan Bea Meterai

Pasal 22 UU Bea Meterai menetapkan bahwa terdapat beberapa dokumen yang dapat diberikan fasilitas pembebasan dari pengenaan bea meterai. Namun, ketentuan tersebut hanya berlaku untuk dokumen-dokumen yang digunakan untuk tujuan tertentu saja. Mengacu pada pasal yang sama, terdapat beberapa jenis dokumen terutang yang bisa mendapatkan fasilitas pembebasan dari pengenaan bea meterai. Pemberian fasilitas ini dapat diberikan baik untuk sementara maupun selamanya.

Adapun jenis dokumen yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut di antaranya adalah dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka percepatan proses penanganan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi suatu daerah akibat bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam. Selain itu, fasilitas tersebut juga dapat diberikan pada dokumen yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang semata-mata bersifat keagamaan dan atau sosial yang tidak bersifat komersial. Yang dimaksud dengan bersifat keagamaan dan sosial yang tidak bersifat komersial, yakni seluruh atau sebagian dari tanah dan atau bangunan hanya digunakan untuk melaksanakan kegiatan ibadah (peribadatan) keagamaan atau kegiatan sosial seperti panti asuhan atau panti jompo. Artinya, tidak boleh untuk segala kegiatan yang bertujuan mencari keuntungan.

Dokumen lain yang juga bisa mendapatkan fasilitas tersebut adalah dokumen yang digunakan dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah. Dokumen yang dimaksud adalah beberapa jenis dokumen yang digunakan untuk lembaga jasa keuangan. Di antara jenis dokumen-dokumen tersebut adalah yang digunakan untuk melaksanakan pendalaman atau pengembangan sektor jasa keuangan, penyehatan dan menjaga keberlangsungan lembaga jasa keuangan, dan mendorong fungsi intermediasi lembaga jasa keuangan.

Terakhir, jenis dokumen yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut adalah dokumen-dokumen yang penggunaannya terkait dengan pelaksanaan perjanjian internasional. Perjanjian yang dimaksud adalah segala perjanjian yang dibuat antara Indonesia dengan satu atau lebih negara lainnya, atau dengan lembaga/organisasi internasional, yang semuanya itu tunduk pada hukum internasional. Perjanian Internasional yang dimaksud adalah perjanjian internasional yang telah bersifat ‘mengikat’ berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perjanjian internasional atau berdasarkan asas timbal balik. 

Demikian penjelasan singkat tentang aturan baru Bea Meterai.

Semoga bermanfaat.

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES


Share this article