Share this article

Sebelumnya kami pernah membahas tentang wanprestasi dan perbedaanya dengan perbuatan melawan hukum. Dalam artikel ini kami akan membahas mengenai wanprestasi lebih mendalam, khususnya bentuk-bentuk, kapan suatu pihak dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, hak-hak dari kreditur[1], dan apa saja pembelaan yang dapat diberikan oleh debitur[2] dalam hal terjadi wanprestasi.

Bentuk-Bentuk Wanprestasi

Wanprestasi sendiri diartikan sebagai ‘cidera janji’ atau lalai, yakni keadaan di mana salah satu pihak yang terikat dalam suatu perjanjian tidak melakukan perikatannya (kewajibannya) sesuai dengan yang diperjanjikan. Menurut Prof Subekti S.H, bentuk-bentuk ingkar janji antara lain:

  1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan, misalnya tidak menyerahkan benda yang dijanjikan dan tidak merawatnya dengan baik;
  2. Debitur terlambat memenuhi perikatan;
  3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Bentuk-bentuk wanprestasi pada dasarnya tergantung dari perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Misalnya, ada perjanjian yang menyatakan bahwa salah satu pihak wajib untuk membayar sejumlah uang paling lambat pada tanggal tertentu. Lalu, apabila pembayaran dilakukan setelah tanggal yang disepakati, maka hal tersebut merupakan wanprestasi karena debitur terlambat memenuhi perikatannya. Contoh lainnya, apabila dalam perjanjian disepakati bahwa debitur tidak boleh menjual tanahnya kepada pihak ketiga, maka apabila debitur menjual tanahnya kepada pihak ketiga yang menawar lebih tinggi, hal ini juga disebut sebagai wanprestasi karena telah melakukan apa yang tidak boleh dilakukannya.

Kapan Suatu Pihak dapat Dinyatakan telah Wanprestasi?

Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut:

Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Dari ketentuan pasal 1238 KUHPerdata ini dapat diambil kesimpulan bahwa debitur baru dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi ketika terjadi dua hal berikut. Yang pertama adalah apabila debitur telah dinyatakan lalai oleh kreditur melalui suatu surat perintah atau dalam praktek dikenal dengan somasi. Kreditur biasanya melakukan somasi untuk memperingatkan debitur untuk memenuhi perikatannya. Dalam hal peringatan itu tidak diindahkan dan debitur masih lalai untuk memenuhi perikatannya maka kreditur dapat menyatakan debitur telah wanprestasi melalui suatu surat kepada debitur. Yang kedua adalah apabila menurut sifat perjanjian dengan dilewatinya suatu jangka waktu berarti telah membuat debitur dianggap telah wanprestasi. Untuk yang kedua ini yang dilihat adalah sifat perjanjiannya, bukan sekedar apakah dalam perjanjian telah disepakati jangka waktu tertentu.

Yursiprudensi Mahkamah Agung  (MA) No. 186 K/Sip/ 1959, tanggal 1 Juli 1959, menyatakan sebagai berikut:

Apabila dalam perjanjian telah ditentukan dengan tegas kapan pihak yang bersangkutan harus melaksanakan sesuatu dan setelah lampau waktu yang ditentukan ia belum juga melaksanakannya, ia menurut hukum belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban perjanjian selama hal tersebut belum dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak lawan (ingebreke gesteld).

Dari yurisprudensi tersebut maka telah jelas bahwa sekalipun dalam perjanjian disepakati suatu jangka waktu dan debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tersebut, maka tidak otomatis membuat debitur dalam keadaan wanprestasi sampai Kreditur menyatakannya secara tertulis (melalui somasi).

Terkait dengan wanprestasi yang terjadi karena lewatnya jangka waktu, harus dilihat dari sifat perikatan itu sendiri. J. Satrio memberikan contoh yang terakhir ini dengan perjanjian penjual kue yang harus menyerahkan kue kepada konsumennya pada waktu hari perkawinan. Apabila setelah hari perkawinan penjual kue tidak dapat menyerahkan kuenya, maka penyerahan setelah waktu yang diperjanjikan akan membuat prestasi tersebut tidak bernilai lagi atau tidak sebernilai apabila diserahkan tepat pada waktunya. Dapat disimpulkan bahwa dengan terlambatnya prestasi tersebut, tidak dapat dicapai lagi apa yang dituju oleh kreditur dengan membuat perjanjian tersebut. Dalam hal terakhir ini J. Satrio menyatakan bahwa untuk hal ini tidak diperlukan adanya pernyataan lalai untuk membawa debitur dalam keadaan wanprestasi. Wanprestasi ini disebut juga dengan mora ex re.[3]

Apakah hak-hak dari Kreditur apabila Debitur telah Melakukan Wanprestasi?

Pasal 1239 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut:

Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.”

Lebih lanjut, Pasal 1267 KUHPerdata mengatur sebagai berikut:

Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Dari kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa hak dari Kreditur dalam hal terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur antara lain:

  1. hak menuntut pemenuhan perikatan;
  2. hak menuntut ganti rugi;
  3. hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
  4. hak menuntut pemutusan perikatan;
  5. hak menuntut pemutusan perikatan dengan ganti rugi.

Pernyataan Lalai untuk Menuntut Hak-Hak Kreditur dalam Hal Debitur Wanprestasi

Pasal 1243 KUHPerdata mengatur sebagai berikut:

“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”

Ketentuan pasal 1243 KUHPerdata ini mengartikan bahwa debitur baru dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi apabila telah ada pernyataan lalai. Dengan demikian pernyataan lalai tidak hanya berfungsi untuk menetapkan kreditur dalam keadaan wanprestasi, tetapi juga untuk kepentingan kreditur dalam menuntut hak-hak kreditur tersebut.

Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman. menegaskan hal ini, sebagai berikut:[4]

Dalam hal apakah “pernyataan lalai” itu diperlukan?

 Pernyataan lalai diperlukan dalam hal seseorang meminta ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji

Namun apabila Kreditur hanya menuntut agar debitur memenuhi perjanjiannya, maka pernyataan lalai ini tidak diperlukan. Prof Dr. Mariam Darus Badrulzaman, dalam kesempatan yang sama juga menyatakan hal tersebut, sebagai berikut:

Menurut ilmu Hukum Perdata kalau Kreditur menuntut adanya pemenuhan perjanjian, maka lembaga pernyataan lalai tidak diperlukan sebab hak untuk mendapatkan pemenuhan itu sudah ada dalam perikatan itu sendiri.

Lebih lanjut, apabila kreditur hanya menuntut pemenuhan perjanjian saja, tanpa adanya tuntutan untuk membatalkan perjanjian atau menuntut ganti rugi, maka Kreditur tidak dapat memintanya melalui pengadilan. Hal ini sebagaimana diputuskan oleh MA dalam putusan No. 1079 K/Sip/1973, tanggal 8 Maret 1979 yang menyatakan:

Karena Tergugat telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan bendanya sesuai dengan isi perjanjian dengan penggugat, berdasarkan pasal 1263 KUH Perdata tergugat wajib memberi ganti rugi kepada penggugat. Akan tetapi, karena dalam hal ini penggugat hanya mohon agar tergugat dihukum untuk memenuhi isi perjanjian, dengan tidak mohon agar pengadilan membatalkan perjanjian menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi kepadanya, maka gugatan penggugat tidaklah diterima.”

Ganti Kerugian yang Dapat Dituntut oleh Kreditur dalam Hal Wanprestasi

Sebagaimana diatur dalam pasal 1239 KUHPerdata, ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur meliputi biaya, rugi, dan bunga. Prof. Subekti menjelaskan masing-masing ganti kerugian tersebut sebagai berikut:[5]

  • Biaya (kosten) adalah biaya-biaya yang telah dikeluarkan;
  • Rugi (schaden) adalah kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda kreditur;
  • Bunga (interessen) adalah kentungan yang akan didapat seandainya debitur tidak lalai (winstdervening).

Prof. Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan terkait dengan rugi (schade) sebagai kerugian nyata (feitelijkenadeel)  yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat dari wanprestasi. Jumlah rugi tersebut ditentukan dengan suatu perbandingan di antara keadaan kekayaan sesudah terjadinya wanprestasi dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi wanprestasi.[6]

Sedangkan tentang bunga pada dasarnya bunga yang dimaksud adalah kentungan yang diharapkan diperoleh dari perikatan terkait. Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman terdapat empat jenis bunga, antara lain:[7]

  1. Bunga konvensional, yaitu bunga uang yang dijanjikan pihak-pihak dalam perjanjian (Pasal 1249 KUHPerdata);
  2. Bunga Moratoire (bunga karena kelalaian yang ditentukan oleh undang-undang), di mana dalam perikatan untuk membayar sejumlah uang pengganti, biaya, rugi, dan bunga yang disebabkan terlambatnya pelaksanaan perikatan hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang.  Besarnya bunga ini adalah 6% (enam persen) per tahun;
  3. Bunga kompensatoir, yaitu bunga uang yang harus dibayar debitur untuk mengganti bunga yang dibayar kreditur pada pihak lain karena debitur tidak memenuhi perikatan atau kurang baik melaksanakan perikatan. Untuk bunga ini ditetapkan oleh hakim;
  4. Bunga Berganda (anatocisme), yaitu bunga yang diperhitungkan dari bunga utang pokok yang tidak dilunasi oleh debitur.

Pembelaan bagi Debitur dalam Hal Terjadinya Wanprestasi

Dalam hal terjadinya wanprestasi ada beberapa pembelaan bagi debitur. Pertama adalah karena adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeure). Mengacu kepada ketentuan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata maka dalam hal debitur terhalang untuk melakukan kewajibannya (prestasi) dikarenakan suatu hal yang tidak terduga maka debitur dapat dihindarkan dari tuntutan untuk mengganti biaya, rugi, dan bunga kepada kreditur. Dalam perjanjian biasanya para pihak telah mengatur keadaan-keadaan apa saja yang dikategorikan sebagai overmacht/force majeure.

Pada dasarnya KUHPerdata tidak menyebutkan keadaan-keadaan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai overmacht, namun KUHPerdata tetap memberikan unsur-unsur dari overmacht itu sendiri, yakni:[8]

  1.  Ada peristiwa yang menghalangi prestasi debitur, yang diterima sebagai halangan yang dapat membenarkan debitur untuk tidak berprestasi atau tidak berprestasi sebagaimana mestinya;
  2. Tidak ada unsur salah pada debitur atas timbulnya peristiwa halangan itu; dan
  3. Tidak dapat diduga sebelumnya oleh debitur.

Artinya, apabila suatu keadaan memenuhi ketiga unsur di atas maka dapat dikatakan telah terjadi overmacht, dan debitur tidak dapat dituntut oleh kreditur untuk mengganti kerugian karena tidak dilaksanakannya prestasi oleh debitur.

Kedua adalah Exceptio Non Adimpleti Contractus. Non adimpleti contractus ini adalah eksepsi atau tangkisan yang menyatakan bahwa kreditor sendiri belum berprestasi dengan demikian tidak patut untuk menuntut debitur melakukan prestasinya. Eksepsi atau tangkisan ini dapat diajukan atau diterapkan dalam perjanjian yang timbal balik saja.[9]

Contoh perjanjian timbal balik adalah perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1478 KUHPerdata yakni “Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedang si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selama pembeli belum membayar harga barang ia tidak dapat menuntut penjual untuk menyerahkan barangnya. Apabila pembeli menggugat penjual untuk menyerahkan barangnya, tetapi pembeli belum membayar harganya, maka penjual dapat membela diri dengan Exceptio Non Adimpleti Contractus.

Demikianlah beberapa hal terkait dengan wanprestasi menurut hukum. Semoga bermanfaat.

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES

LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp

Artikel ini juga tersedia dalam versi bahasa Inggris: Deeper Understanding on Breach of Contract under Indonesian Law.


[1] Istilah kreditur yang dipakai dalam tulisan ini tidak secara khusus mengacu kepada seseorang yang terikat dalam utang piutang, di mana diartikan sebagai pihak yang memberikan pinjaman uang. Melainkan lebih diartikan secara umum sebagai pihak yang kepadanya debitur wajib melaksanakan prestasinya. Dalam literatur kreditur juga disebut dengan si berpiutang.  

[2] Sama dengan kreditur, istilah debitur yang digunakan di sini tidak secara khusus mengacu kepada pihak yang menerima pinjaman dan wajib mengembalikan uang tersebut. Melainkan lebih diartikan secara umum sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan suatu prestasi. Dalam literatur debitur disebut juga dengan si berutang.

[3] Artikel oleh J. Satrio, “Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I)”. Tulisannya yang dipublikasikan di situs hukumonline.com https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cbfb836aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-j-satrio-?page=all

[4] Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., FCArb.  “Hukum Perikatan dalam KUHPerdata Buku Ketiga, Yurispurdensi, Doktrin, serta Penjelasan”, Cetakan Pertama, PT. Citra Adita Bakti, Bandung, 2015, halaman 23.

[5] Prof, Subekti, S.H., “Pokok Pokok Hukum Perdata”, Cet 31, Penerbit Intermasa, Jakarta, 2003, halaman 148-149.

[6] Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., FCArb, op. cit. halaman 30-31.

[7] Ibid, halaman 43-44.

[8] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Cet-3,  tahun 1999, Penerbit Alumni, Bandung, halaman 253.

[9] Artikel oleh J. Satrio, “Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian IV)”. Tulisannya dipublikasikan di situs hukumonline.com https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-iv-brioleh-j-satrio-?page=all



Share this article