Share this article

Salah satu tugas dan kewenangan yang diemban oleh Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah melakukan Judicial Review, peninjauan dan atau pengujian kembali terhadap putusan badan legislasi dan atau eksekutif.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa secara teoretis, keberadaan Mahkamah Konstitusi diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Menurutnya pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (Judicial Review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya Mahkamah Agung.

Kompetensi Mahkamah Konstitusi Indonesia di bidang Judicial Review ditujukan terhadap pengujian UU terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) baik dari segi formil maupun dari segi materil, yang biasa diistilahkan dengan pengujian konstitusionalisme. Dasar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, ditemukan pada Pasal 24C UUD 1945 dan pula diatur lebih lanjut pada Pasal 10 Undang-Undang. No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya dengan UU. No. 8 Tahun 2011 (“UU Mahkamah Konstitusi”).

Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan yang diatur pada Bab III UU Mahkamah Konstitusi tentang Kekuasaan Mahkamah Konstitusi. Keempat kewenangan tersebut adalah:

1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945

3. Memutus pembubaran partai politik, dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain keempat kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi mempunyai satu tugas, yaitu wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945.

Ketentuan terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 juga kembali diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Pembentukan. Peraturan Perundang-Undangan, yang berbunyi:

  1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; dan
  2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Pemohon Dalam Judicial Review

Undang-Undang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi. Disebutkan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan Warga Negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam Undang-Undang; badan hukum publik dan privat; atau lembaga negara.

Berkaitan dengan kualifikasi pemohon, Mahkamah Konstitusi sudah membuat kriteria baku melalui putusan No. 006/PUU-III/2005 jo putusan MK No. 11/PUU-V/2007. Putusan ini terus menerus diikuti hingga kini sehingga sudah dianggap menjadi yurisprudensi tetap. Ada lima kriteria yang digunakan Mahkamah Konstitusi. Pertama, adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Kedua, hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh para pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. Ketiga, kerugian konstitusional pemohon dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan actual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial berdasarkan penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Kelima, adanya kemungkinan bahwa dengan diakabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Permohonan Judicial Review

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap (Pasal 29 UU Mahkamah Konstitussi) yang memuat sekurang-kurangnya:

A. Identitas Pemohon, meliputi:

i. Nama

ii. Tempat tanggal lahir/umur – Agama

iii. Pekerjaan

iv. Kewarganegaraan

v. Alamat Lengkap

vi. Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)

B. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:

i. kewenangan Mahkamah;

ii. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;

iii. alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.

C. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:

i. mengabulkan permohonan Pemohon;

ii. menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;

iii. menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

D. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu:

i. mengabulkan permohonan Pemohon;

ii. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;

iii. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(Pasal 31 UU Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang).

Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut yaitu alat bukti berupa (Pasal 31 ayat [2] jo. Pasal 36 UU Mahkamah Konstitusi):

a. surat atau tulisan;

b. keterangan saksi;

c. keterangan ahli;

d. keterangan para pihak;

e. petunjuk; dan

f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan suatu bentuk pengujian materi dari undang-undang yang diajukan oleh pemohon karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya merugikan hak konstitusional yang dimiliki pemohon sebagai warga negara.

Hukum acara untuk perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi ini agak berbeda dibandingkan dengan peradilan biasa, karena hal yang dipertimbangkan dan diperiksa adalah opini dan tafsiran, bukannya pada fakta-fakta, sehingga analisis terhadap data-data menjadi hal yang penting dan utama untuk disajikan. Mengenai hal ini disebutkan dalam UU Mahkamah Konstitusi bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan UUD 1945, khususnya setelah Perubahan Pertama UUD 1945 yang disahkan MPR pada tanggal 19 Oktober 1999.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J. PINAKUNARY LAW OFFICES


Share this article