Share this article

Dalam sebuah perkara atau gugatan Citizen Lawsuit atau Actio Popularis atau Gugatan Warga Negara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, para penggugat mendalilkan bahwa selaku warga Negara Republik Indonesia, mereka memiliki alas hak (legal standing) dan wewenang atau kompetensi untuk mengajukan gugatan terhadap beberapa pihak, antara lain pihak Pemerintah Republik Indonesia, sebuah Badan Usaha Milik Negera (BUMN), anak perusahaan BUMN dan pihak swasta yang berdomisili di luar negeri, antara lain dengan alasan bahwa Negara mengalami kerugian karena adanya dugaan perbuatan melawan hukum terkait perubahan komposisi pemegang saham pada anak perusahaan BUMN tersebut. Oleh karena itu, pihak tergugat menghadirkan seorang ahli memberikan keterangan di muka persidangan yang pada prinsipnya menjelaskan bahwa pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang tentang Keuangan Negara adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban tersebut yang dinyatakan sebagai milik negara. Sedangkan Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 45, menyatakan wujud keuangan negara adalah di Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selanjutnya, menurut Pasal 4 ayat 1 dan penjelasannya Undang-Undang 19 tahun 2003 tentang BUMN, kekayaan dan keuangan BUMN itu adalah kekayaan yang dipisahkan. Hal ini pun telah diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 62 tahun 2013 yang menyatakan bahwa BUMN betul tidak tunduk dan tidak menggunakan cara-cara kepemilikan langsung atau Undang-Undang APBN, tetapi memakai GCG.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK jo. Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2008 jo. Pasal 20 UU No. 30 tahun 2014 jo. Peraturan Mahkamah Agung No. 5 tahun 2015, pihak yang berhak melakukan audit investigatif adalah BPK dan Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), yaitu BPKP, inspektorat jenderal, inspektorat kementerian lembaga, badan pengawasan mahkamah agung, badan pengawasan di lembaga negara, atau  kemudian inspektorat provinsi. Pihak atau lembaga swasta tidak memiliki kewenangan untuk menentukan ada atau tidak adanya kerugian Negara. Oleh karena itu, jika ada lembaga atau pihak swasta yang melakukan hal itu, maka validitas dan keabsahannya tidak dapat dipergunakan dalam proses pengambilan keputusan.

Selanjutnya ahli tersebut menjelaskan bahwa kerugian dapat timbul karena perbuatan melawan hukum atau kelalaian. Sebagai contoh dapat dianalogikan dengan pemberian subsidi, dalam subsidi itu dapat dikatakan sebagai kerugian negara karena tidak ada keuntungan negara, namun demikian kerugian tersebut direalisasikan dalam Undang-Undang APBN dengan dasar negara bertanggung jawab memberikan haknya kepada masyarakat melalui pajak, sehingga seharusnya dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk infrastruktur, tetapi kekurangan itu dimuat dan diberikan dasar hukum dalam APBN sehingga bukan merupakan kerugian negara. Oleh karena itu, Warga Negara tidak memiliki wewenang untuk melakukan gugatan atas kerugian negara karena kewenangan tersebut telah diberikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri BUMN sebagai wakil negara dalam keuangan negara. Selanjutnya fungsi DPR adalah legislasi, anggaran dan pengawasan. Adapun Panitia Khusus (Pansus) yang merupakan bagian penyelidikan sangat bersifat politis dan tidak dapat dijadikan bukti adanya pelanggaran hukum atau pembuktian. Lebih lanjut, hal tersebut belum sampai pada pemberian pendapat DPR, sedangkan Aliran pengawasan DPR secara protokoler adalah langsung disampaikan kepada Menteri BUMN dan Menteri BUMN dengan kewenangannya secara publik atau privat menindaklanjuti hasil pengawasan DPR tersebut.

Berdasarkan penjelasan, ahli tersebut berpendapat bahwa Warga Negara tidak memiliki wewenang untuk melakukan Gugatan Citizen Lawsuit atau Actio Popularis di pengadilan sehubungan dengan dugaan kerugian Negara.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J. PINAKUNARY LAW OFFICES


Share this article