Share this article

Pailit adalah suatu keadaan di mana seorang debitur tidak mampu untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditur. Namun, dalam konteks hukum bisnis, apakah mungkin untuk mengajukan permohonan pailit jika terdapat klausula arbitrase dalam perjanjian? Pertanyaan apakah permohonan pailit dapat diajukan jika ada klausula arbitrase telah menjadi topik perdebatan dalam konteks hukum. Beberapa yurisdiksi mengakui kemungkinan untuk mengajukan permohonan pailit, bahkan jika ada klausula arbitrase yang telah disepakati. Namun, hal ini sangat bergantung pada hukum yang berlaku di negara atau yurisdiksi tertentu.

Dasar Hukum Klausula Arbitrase

Klausula arbitrase merupakan suatu perjanjian antara pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah kesepakatan bisnis, yang menyatakan bahwa jika terjadi perselisihan, penyelesaian sengketa akan dilakukan melalui proses arbitrase daripada melalui pengadilan. Dasar hukum klausula arbitrase biasanya terdapat dalam perjanjian bisnis yang telah ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Meskipun terdapat klausula arbitrase dalam perjanjian bisnis, ada kemungkinan bagi pengadilan untuk mengizinkan permohonan pailit dilanjutkan jika terdapat alasan yang kuat dan kepentingan para kreditur harus dipertimbangkan. Namun, setiap kasus akan dinilai berdasarkan fakta dan bukti yang ada.

Keterkaitan antara Pailit dan Klausula Arbitrase

Pertanyaan yang muncul adalah apakah mungkin untuk mengajukan permohonan pailit jika terdapat klausula arbitrase dalam perjanjian. Sebagian besar yurisdiksi mengakui bahwa permohonan pailit merupakan mekanisme hukum yang berbeda dan terpisah dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Dalam konteks hukum Indonesia, terdapat ketentuan yang mengatur tentang pailit dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”). Pasal 42 UU Kepailitan tersebut menyebutkan bahwa permohonan pailit dapat diajukan oleh kreditur yang memiliki tagihan yang jatuh tempo dan tidak dibayarkan oleh debitur.

Namun, dalam beberapa kasus, terdapat pengecualian di mana pengadilan dapat mengabaikan klausula arbitrase dan memperbolehkan permohonan pailit dilanjutkan. Misalnya, jika pihak yang mengajukan pailit dapat membuktikan bahwa terdapat alasan yang kuat bahwa penyelesaian melalui arbitrase tidak akan menghasilkan pembayaran yang memadai kepada para kreditur.

Dalam kasus kepailitan yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga, pada dasarnya kedua pertanyaan Anda akan terjawab oleh Pasal 303 UU Kepailitan, yang menyatakan:

“Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.”

Dengan demikian, kreditur tetap dapat mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga walaupun kreditur dan debitur terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase. Pengadilan Niaga dalam hal ini tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit yang diajukan oleh dari kreditur, meskipun ia terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase.

Kemudian kunci apakah permohonan pailit dapat diterima atau ditolak adalah pada pembuktian utang yang menjadi dasar permohonan pailit harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yaitu:

  1. Ada dua atau lebih kreditur; dan
  2. Ada suatu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yang tidak dibayar lunas oleh debitur.

Selain di atas, permohonan kepailitan harus pula memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan mengenai pembuktian sederhana. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.

Penting untuk berkonsultasi dengan advokat atau pakar hukum yang berpengalaman dalam hukum pailit dan arbitrase untuk mendapatkan nasihat yang tepat dalam situasi yang spesifik.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
  2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Demikian disampaikan, semoga bermanfaat.


Share this article