Share this article

Kasus dugaan korupsi terkait investasi dalam Participating Interest Pertamina atas Blok Manta Gummy (BGM) Australia tahun 2009 pada awalnya menyeret beberapa nama sebagai tersangka yang bertanggung jawab karena telah merugikan negara sebesar 586 miliar Rupiah. Diantara nama-nama yang diseret dalam kasus tersebut terdapat juga mantan Direktur Keuangan PT Pertamina, yaitu Frederick ST Siahaan (Frederick Siahaan).

Dalam kasus tersebut sendiri, Frederick ST Siahaan, terlibat karena telah menandatangani Sale Purchase Agreement sebagai penjamin berdasarkan mandat dari Karen Agustiawan sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero). Karen Agustiawan sendiri, dalam pemeriksaan terpisah dengan Frederick ST Siahaan, juga terseret dalam kasus ini dan telah divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dengan pidana penjara 8 tahun, pada tanggal 10 Juni 2019.

Pada awalnya Frederick ST Siahaan divonis bersalah dan dihukum dengan pidana penjara 8 tahun dan denda 1 miliar Rupiah subsider 4 bulan kurungan sebagaimana diputuskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan putusan tersebut juga dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding. Frederick ST Siahaan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah dinyatakan bersalah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). [1]

Namun dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang berbeda dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Tinggi. Mahkamah Agung membebaskan Frederick ST Siahaan dari setiap dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan alasan bahwa dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum adalah benar dan terbukti namun perbuatan Frederick ST Siahaan bukanlah merupakan tindak pidana.

Putusan Mahkamah Agung didasarkan pada dua argumen. Yang pertama, karena Frederik ST Siahaan pada saat itu menandatangani Sale Purchase Agreement sebagai penjamin berdasarkan mandat dari  Karen Agustiawan sebagai Direktur Utama Pertamina saat itu. Menurut Mahkamah Agung Frederick ST Siahaan menandatangani perjanjian tersebut sebagai penjamin dan hal itu merupakan perintah jabatan sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) KUHP sehingga terdakwa tidak dapat dipersalahkan. Yang kedua,  Mahkamah Agung berpendapat bahwa keuangan PT Pertamina Hulu Energi (“PHE”), yang merupakan anak perusahaan Pertamina, tidak termasuk dalam keuangan negara, modal saham PHE tidak berasal dari penempatan langsung negara, dan oleh karena itu kerugian yang dialami oleh PHE tidak dianggap sebagai kerugian negara.

Sebagai informasi tambahan, dalam Sale Purchase Agreement, pihak yang melakukan akuisisi memang adalah PT Pertamina Hulu Energi. 

Oleh karena itu, menarik untuk dibahas tentang dua isu yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara Frederick ST Siahaan, yaitu terkait pelaksanaan perintah jabatan dan keuangan anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”).

Melaksanakan Perintah Jabatan

Ketentuan tentang melaksanakan perintah jabatan dalam KUHP dapat ditemui dalam Pasal 51 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wewenang, tidak dipidana.
  2. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP tersebut, jelas, bahwa apabila seseorang melakukan tindakan yang merupakan suatu tindak pidana, namun tindakan tersebut dilakukan atas dasar suatu perintah jabatan maka orang tersebut tidak dapat dihukum. Dalam teori hukum pidana hal ini merupakan dasar pembenar tindak pidana.

Sekilas jika diterapkan dalam kasus Frederick ST Siahaan, di mana ia dalam melakukan tindakan yang diduga sebagai tindak pidana, dilakukan atas dasar perintah yang diterimanya dari Karen Agustiawan selaku Direktur Utama Pertamina, maka pertimbangan hukum Mahkamah Agung terkait hal ini dapat diterima. Namun, jika dibahas lebih lanjut, terkait dengan hal tersebut perlu ada pertimbangan yang lebih mendalam mengenai penerapan Pasal 51 ayat (1) KUHP bagi Frederik ST Siahaan.

Menurut R. Soesilo (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, halaman 48)

“Syarat pertama yang disebutkan dalam pasal ini ialah, bahwa orang itu melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan, antara pemberi perintah dengan orang yang diperintah harus ada hubungan yang bersifat kepegawaian negeri, bukan pegawai partikulir. Tidak perlu, bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah dengan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu.

Syarat yang kedua ialah bahwa perintah harus diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tersebut tidak berhak untuk itu, maka orang yang menjalankan perintah tadi tetap dapat dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya, melainkan jika orang itu dengan itikad baik mengira, bahwa perintah tersebut sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. Jika demikian menurut ayat 2 dari pasal ini, orang itu tidak dapat dihukum.”

Salah satu hal yang perlu diperhatikan terkait dengan Pasal 51 KUHP ini adalah terkait dengan istilah perintah jabatan atau “ambtelijke bevel”. Menurut Noyon-Langemeijer, sebagaimana dikutip oleh P.A.F. Lamintang, S.H, dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, Cet ke 5, Penerbit Citra Aditya Bakti, pada halaman 525, menyatakan:

Perkataan “ambtelijke bevel” atau “perintah jabatan” itu sendiri secara harafiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu “ambtelijke positie” atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.”  

Dalam komentar R. Soesilo di atas, beliau mensyaratkan bahwa dalam Pasal 51 KUHP ini antara pemberi perintah dan yang diperintah harus ada hubungan yang bersifat kepegawaian negara, dan bukan partikulir. Hal senada juga diutarakan oleh beberapa ahli hukum seperti:

1. Profesor SIMONS:

“Adalah tidak perlu bahwa perintah itu harus diberikan kepada seorang bawahan saja, melainkan ia juga dapat diberikan kepada orang-orang lain, dan selama perintah seperti itu juga telah diberikan berdasarkan undang-undang, maka hal dapat dihukumnya perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan perintah tersebut menjadi ditiadakan.”

2. Profesor POMPE:

“Dengan perkataan “bawahan” itu dimaksudkan adalah setiap orang, kepada siapa suatu perintah itu telah diberikan tidak perlu berada dalam suatu hubungan yang tetap sebagai seorang bawahan dengan orang yang memberikan perintah, bahkan ia pun tidak harus merupakan seorang pegawai negeri. Akan tetapi hubungan antara orang yang melaksanakan perintah dengan orang yang memberikan perintah tersebut haruslah bersifat hukum publik atau bersifat publiek rechtelijke.”

3. Profesor van HAMEL:

“Undang-undang mensyaratkan bahwa perintah itu haruslah bersifat ‘ambtelijke’ yang berarti harus diberikan berdasarkan suatu ambt atau suatu “jabatan” kepada orang-orang bawahan, yakni kepada pegawai-pegawai negeri dan orang-orang lain.”

Advocaat-general BESIER dalam kesimpulannya sebelum HOGE RAAD dalam arrest nya tanggal 21 Mei 1918 memutuskan sebagai berikut:

Di sini tidak hanya dimaksud sifat membawah dalam jabatan, melainkan juga setiap kewajiban penduduk untuk patuh terhadap perintah-perintah dari organ-organ kekuasaan negara.

P.A.F. Lamintang menyimpulkan terkait dengan doktrin para ahli terhadap Pasal 51 ayat (1) KUHP sebagai berikut:

“Dari rumusan Pasal 51 ayat 1 KUHP di atas dapat kita ketahui, bahwa undang-undang telah mensyaratkan bahwa “perintah jabatan” itu haruslah diberikan oleh “het bevoegde gezag” atau oleh “kekuasaan yang berwenang” untuk mengeluarkan perintah semacam itu.”  

Lalu beranjak dari komentar R. Soesilo dan doktrin-doktrin hukum di atas maka menjadi pertanyaan apakah dalam perkara Frederick ST Siahaan, antara pemberi perintah yakni Karen Agustiawan sebagai Direktur Utama Pertamina dan Frederick ST Siahaan terdapat hubungan kepegawaian negeri? Atau hubungan keduanya bersifat hukum publik? Mengingat Direktur Utama Pertamina merupakan jabatan dalam suatu Perusahaan, yakni Badan Usaha Milik Negara.

Perlu diperhatikan juga, bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“UU No. 28/1999”), mengatur tentang Penyelenggara Negara sebagai Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 1). Lebih lanjut Pasal 2 angka 7 UU No. 28/1999 menyatakan bahwa Penyelenggara Negara termasuk juga Pejabat Lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang mana menurut penjelasan Pasal 2 angka UU No. 28/1999 termasuk juga Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.

Dengan mempertimbangkan ketentuan dalam UU No. 28/1999 dapat disimpulkan bahwa Direktur Utama BUMN merupakan Penyelenggara Negara atau Pejabat Negara. Oleh karena itu, Perintah yang diberikan oleh Karen Agustiawan dalam kapasitasnya selaku Direktur Utama Pertamina (BUMN) kepada Frederick ST Siahaan termasuk ke dalam Pasal 51 ayat 1 KUHP.

Keuangan Anak Perusahaan BUMN Bukan Keuangan Negara

Akhir-akhir ini, topik ini hangat diperbincangkan sejak gugatan terkait calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno atas hasil pemilihan presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi. Dalam gugatan yang dibacakan dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada Jumat, 14 Juni 2019, pasangan Prabowo-Sandiaga mempersoalkan kedudukan Ma’aruf Amin sebagai Ketua Dewan Pengawas di Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah. Tulisan ini tidak akan membahas mengenai gugatan pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi yang mana salinan putusan mengenai gugatan tersebut sudah dapat diakses di situs resmi Mahkamah Konstitusi dengan nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019, melainkan mengenai apakah keuangan anak perusahaan BUMN adalah sama dengan keuangan negara atau bukan.

Seperti yang diketahui payung hukum untuk BUMN adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”), sedangkan untuk Perseroan Terbatas (“PT”) yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”). Pengertian mengenai Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) terdapat dalam UU BUMN dan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER- 03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN 03/2012”).

Pasal 1 angka 1 UU BUMN menyatakan bahwa:

“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.”

Sedangkan definisi BUMN pada Permen BUMN 03/2012 adalah sama dengan definisi BUMN di UU BUMN, definisi BUMN dalam Permen BUMN 03/2012 ini juga terdapat pada Pasal 1 angka 1, yaitu:

“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.”

Melihat pengertian BUMN tersebut, perlu diperjelas bahwa BUMN mempunyai modal berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN atau perolehan lainnya yang sah dan dijadikan penyertaan modal negara kepada BUMN secara korporasi.[2]

Adapun pengertian anak perusahaan BUMN tidak terdapat di UU BUMN, namun di Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (“Keppres 122/2001”) dan Permen BUMN 03/2012.

Pasal 1 angka 3 Keppres 122/2001 menyatakan:

“Anak perusahaan BUMN adalah Perseroan Terbatas yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN.”

Adapun definisi anak perusahaan BUMN yang terdapat pada peraturan yang lebih baru terdapat pada Permen BUMN 03/2012.

Pasal 1 angka 2 Permen BUMN 03/2012 menyatakan:

“Anak Perusahaan BUMN, yang selanjutnya disebut Anak Perusahaan adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.”

Ditambah lagi pada Peraturan Menteri BUMN PER-15/MBU/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN 15/2012”).

Dalam Pasal 1 angka 6 Permen BUMN 15/2012 mengatur mengenai kriteria anak perusahaan BUMN, yaitu:

“Anak Perusahaan BUMN adalah:

  1. Perusahaan yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh BUMN yang bersangkutan;
  2. Perusahaan yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh BUMN lain;
  3. Perusahaan patungan dengan jumlah gabungan kepemilikan saham BUMN minimum 90%.”

Dengan melihat berbagai pengertian mengenai anak perusahaan BUMN diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa modal anak perusahaan BUMN adalah dari BUMN tersebut, bukan dari kekayaan negara. Hal ini jelas berbeda dengan modal BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN atau perolehan lainnya yang sah dan dijadikan penyertaan modal negara kepada BUMN secara korporasi. Menempatkan kekayaan negara untuk dikelola secara korporasi menghasilkan manfaat bagi peningkatan perekonomian Negara. Oleh karena itu, apabila dibentuk sebuah anak perusahaan BUMN dan BUMN tersebut melakukan penyertaan modal sebagai Perusahaan Induk, hal itu berarti bahwa modal tersebut bukan berasal dari negara, melainkan dari BUMN tersebut yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas) sebagai badan hukum yang memiliki kekayaan terpisah dari pemegang saham.[3]

Berdasarkan konstruksi tersebut dapat diartikan bahwa BUMN sebagai badan hukum apabila membentuk anak perusahaan serta memiliki saham di dalamnya, maka kepemilikan saham dalam anak perusahaan tersebut berasal dari kekayaan BUMN. Apabila melihat konstruksi tersebut dapat dikatakan bahwa anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN, sehingga tidak tunduk pada UU BUMN, melainkan tunduk pada UU PT.[4]

Selain itu Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. dalam salinan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 memberikan pendapat perbedaan antara BUMN dan anak perusahaan BUMN, yaitu:

Maka, disinilah letak perbedaan antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN, karena yang menentukan badan usaha itu merupakan BUMN adalah sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung, sedangkan anak perusahaan BUMN didirikan melalui penyertaan saham milik negara pada BUMN pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain yang menjadi anak perusahaan BUMN (penyertaan modal negara secara tak langsung). Dengan tafsir gramatikal dan teleologis dapat dikatakan di sini bahwa BUMN dengan anak perusahaan BUMN merupakan entitas hukum yang berbeda. Namun, ada 2 (dua) kriteria secara bersyarat yang dapat memperlakukan anak perusahaan BUMN sama dengan BUMN yaitu, jika pada suatu saat:

  1. mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau
  2. mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN.”

Penulis mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan yang sama (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019) mengenai hal ini, yaitu:

Bahwa terhadap dalil Pemohon berkenaan dengan persyaratan Calon Wakil Presiden Paslon 01 di atas, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

  1. Bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi tersebut maka untuk dapat mengetahui apakah Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri merupakan BUMN atau bukan salah satunya adalah dengan cara mengetahui komposisi modal atau saham dari kedua bank tersebut;
  2. Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN;
  3. Bahwa selanjutnya dalam UU BUMN juga terdapat pembagian kategori perusahaan, yaitu perusahaan Persero dan perusahaan umum yang masing-masing memiliki organ perusahaan yang berbeda. Perusahaan Persero memiliki organ yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris (vide Pasal 13 UU BUMN), sementara Perusahaan Umum memiliki organ yang terdiri dari Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas (vide Pasal 37 UU BUMN). Mengacu pada organ dimaksud maka Dewan Pengawas Syariah (DPS) tidak dikenal dalam Perusahaan Persero;

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keuangan anak perusahaan BUMN tidak sama dengan atau bukan keuangan BUMN, karena anak perusahaan BUMN adalah sebuah entitas yang berdiri sendiri dan terpisah dari BUMN sebagai pemegang saham terbesarnya. Modal yang diberikan kepada anak perusahaan BUMN adalah berasal dari BUMN, bukan dari kekayaan negara. Dalam hal laporan keuangan pun, anak perusahaan BUMN melapor ke BUMN selaku pemegang sahamnya dan bukan ke negara. Ditambah dari segi peraturan, BUMN dan Anak Perusahaan BUMN tunduk ke dua payung hukum yang berbeda. BUMN tunduk ke UU BUMN sedangkan Anak Perusahaan BUMN tunduk di bawah rezim UU PT.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES


[1] Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No 31 Tahun 1999

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: … b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP

(1) Dipidana sebagai pembuat sesuatu perbuatan pidana: 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan

[2] Status Kepemilikan Anak Perusahaan BUMN, Julio Thimotius Kapitan Smaud Natun, https://media.neliti.com/media/publications/278225-status-kepemilikan-anak-perusahaan-bumn-4ebf8f09.pdf

[3] Ibid

[4] Ibid


Share this article