Share this article

Korupsi biasanya dilakukan oleh orang yang secara jabatan dan intelektual mampu mengeksekusi perbuatannya, namun dibalik itu, uang atau aset adalah “nadi” yang menghidupkan semuanya. Karena uang adalah nadi yang mengalirkan darah untuk menghidupkan korupsi maka tindakan efektif untuk mematikan korupsi adalah memotong nadi korupsi melalui perampasan uang/aset atau pemiskinan koruptor, baik perorangan maupun korporasi karena walaupun koruptor dipenjarakan namun sepanjang uangnya masih banyak, kejahatan bisa dilakukan di balik penjara. Kita telah menyaksikan bagaimana terpidana korupsi beredar di luar penjara, bermain judi ke Makau hingga nonton tenis di Bali. Semua bisa terjadi karena mereka masih mempunyai banyak uang. Bagaimana mungkin mereka bisa tetap memiliki uang yang banyak walau sudah dipenjara? Karena berhasil mencuci uang. Uang hasil korupsi dapat “dicuci” dengan menempatkan (placement) dana tersebut pada aktivitas bisnis yang sah, baik di dalam atau di luar negeri, menyamarkan (layering) jejak uang hasil kejahatan misalnya dengan mentransfer uang tersebut ke perusahaan fiktif, membeli mahal dengan tunai. Mereka juga dapat membuat perusahan fiktif yang biasanya berkedudukan di negara surga pajak, lalu perusahaan itu memberikan gaji yang sangat tinggi kepada mereka atau melaporkan keuntungan yang sangat besar atau tidak wajar. Berikut adalah upaya yang perlu dilakukan untuk memotong nadi korupsi.

Maksimalisasi Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU TPPU”) 

Sejauh ini KPK belum maksimal dalam memanfaatkan UU TPPU dalam mendakwa terduga korupsi sehingga tingkat pengembalian aset masih lebih kecil dibandingkan jumlah kerugian negara karena korupsi. Menurut riset Penulis, jumlah perkara korupsi sejak tahun 2014 hingga 2018 adalah 534 perkara, sedangkan Dakwaan yang menggunakan UU TPPU dalam periode yang sama hanya terhadap 23 Terdakwa. Dari berbagai sumber yang Penulis pelajari, terlihat bahwa Penyidik KPK sudah terbebani dan oleh karena itu lebih menitikberatkan pada follow the suspect, bukan follow the money. Dalam sebuah diskusi di TV, Koordinator Indonesia Corruption Watch (“ICW”) menjelaskan bahwa menurut komunikasi ICW dengan Kepolisian di Jawa Timur, mereka jarang berinteraksi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”) sehingga mereka tidak bisa memaksimalkan pemanfaatan UU TPPU untuk menjerat pelaku korupsi karena PPATK adalah salah satu instrumen terpenting dari TPPU. Mengingat bahwa hasil pengembalian aset yang dihasilkan KPK salah satunya berasal dari perampasan aset koruptor maka menurut pakar TPPU, Dr. Yenti Garnasih, artinya uang korupsi sudah dipakai untuk membeli aset maka disitu sudah terjadi TPPU. Diharapkan KPK mengubah paradigma bahwa harus utamakan korupsi dulu baru TPPU karena Pasal 75 UU TPPU menyatakan dalam hal Penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, Penyidik menggabungkan Penyidikan tindak pidana asal dengan Penyidikan TPPU dan memberitahukannya kepada PPATK. 

Penelusuran Aset  

Untuk menerapkan UU TPPU, perlu dilakukan penelusuran aset. Penelusuran aset dilakukan oleh Penyelidik dibantu Auditor Forensik dengan mengumpulkan, mengevaluasi bukti transaksi keuangan dan non-keuangan yang berkaitan dengan aset hasil perbuatan pidana. Tujuannya untuk mengetahui keberadaan dan jenis aset yang disembunyikan dari hasil tindak pidana yang informasinya berasal dari Penyedia Jasa Keuangan, PPATK, Hasil Penelitian Akademisi, Persengketaan di Pengadilan dan KPK. Keberhasilan dalam penelusuran aset akan membantu KPK dalam mengumpulkan informasi yang akurat terkait uang atau aset yang berusaha disembunyikan koruptor. Perlu dibentuk satuan kerja untuk melakukan penelusuran aset demi menunjang kinerja KPK dalam pengembalian aset. 

Pengembalian Aset Negara Melalui Gugatan Perdata

Banyak terpidana korupsi yang tetap “kaya” bahkan setelah dipenjara maka  perlu dimaksimalkan penggunaan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 38C UU Tipikor tentang gugatan perdata. Melalui penelusuran aset yang baik, dapat ditemukan informasi akurat tentang aset koruptor dan hal tersebut dapat dijadikan sebagai objek gugatan. Gugatan perdata jarang dilakukan, padahal uang adalah “nadi” koruptor. Untuk itu upaya pemiskinan koruptor, melalui gugatan perdata harus digencarkan. Dalam perkara korupsi, gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama disamping upaya hukum pidana, bukan sekedar pelengkap hukuman pidana.

Merampas Aset Tanpa Adanya Putusan Pidana atau Non-Conviction Based (“NCB”) atau Civil Forfeiture

NCB diatur dalam UNCAC yang telah diratifikasi Indonesia. Menurut konvensi tersebut salah satu mekanisme yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kerugian negara adalah perampasan aset tanpa adanya putusan pidana baik dengan alasan meninggal, melarikan diri, atau tidak dapat hadir. Pengaplikasian NCB di Indonesia dapat dilihat pada Pasal 67 UU TPPU yang memberi wewenang kepada Penyidik untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar pengadilan memutuskan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana menjadi aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Sebagai perbandingan, dalam web, www.state.gov, Department of Justice diperbolehkan untuk melakukan NCB atas aset yang diduga hasil korupsi. NCB dapat dilakukan pada aset yang berada di luar Amerika. Untuk mengaplikasikan konsep NCB di Indonesia, perlu dipelajari Perma No. 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain karena Perma tersebut mencakup ruang lingkup UU TPPU. Untuk melakukan NCB terhadap korporasi yang diduga menikmati keuntungan dari hasil kejahatan perlu dipelajari Perpres No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi. Perpres tersebut dapat menjadi payung hukum untuk mengungkap kepemilikan dan aktivitas suatu perusahaan, melacak sumber aliran dana transaksi yang mencurigakan dan membekukan aset korporasi ataupun individu yang diduga terlibat dalam kejahatan atau mendapatkan keuntungan dari kejahatan. 

Maksimalisasi Mutual Legal Assistance (“MLA”) 

Indonesia telah menandatangani MLA dengan beberapa negara dan untuk itu perlu dipelajari analisis dari, antara lain INDEF bahwa ada sekitar Rp98.000 triliun aset global yang hingga kini disembunyikan dan belum terungkap. Angka ini merujuk pada data Gabriel Zucman dalam bukunya “The Hidden Wealth of Nations: The Scourge of Tax Havens“. https://www.wartaekonomi.co.id/read136824/ada-rp98-ribu-triliun-aset-tersembunyi-di-dunia-11-persennya-punya-indonesia.html. Direktur Eksekutif Eksekutif CITA menjelaskan dengan adanya MLA dengan Swiss, Indonesia dapat memintakan bantuan untuk pelacakan, perampasan, pembekuan, bahkan pemulangan aset. Jadi, Indonesia harus segera meratifikasi MLA tersebut ke dalam undang-undang. Berdasarkan penelitian Gabriel Zucman pada tahun 2017, orang Indonesia menyimpan dana di offshore kurang lebih US$331 miliar atau Rp4.600 triliun, yang ikut amnesti kurang lebih Rp1.100 triliun. Artinya masih ada Rp3.500 triliun dana milik orang Indonesia di luar negeri. Jika dipakai perkiraan 45% dana itu di Swiss, berarti kemungkinan ada Rp1.700 triliun dana di Swiss, atau, jika 28% yang dipakai Zucman sebagai perkiraan minimal, berarti ada sekitar Rp800 triliun dana orang Indonesia di Swiss.

Semoga bermanfaat. 

FREDRIK J. PINAKUNARY LAW OFFICES


Share this article