Share this article

Sebagai Presiden terpilih, dalam periode kedua pemerintahannya Presiden Jokowi dipastikan akan menggenjot penanaman modal (investasi) seluas-luasnya di Indonesia. Alhasil setiap kementerian dan lembaga negara terkait, khususnya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dituntut untuk bertindak inovatif dan kreatif dalam menggaet para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

 

Harapan Presiden Jokowi tersebut diungkapkan melalui salah satu poin utama dalam pidatonya di Acara Visi Indonesia pada hari minggu 14 Juli 2019 silam, yang intinya menegaskan bahwa investasi adalah pintu masuk bagi terbukanya lapangan pekerjaan, karena itu perlu ditingkatkan kemudahan dalam pengurusan perizinan dan jangan ada (masyarakat dan pelaku usaha dalam negeri) yang alergi terhadap investasi. Bahkan Presiden Jokowi tidak segan menindak hal-hal yang dapat menghambat investasi di Indonesia.

 

Menyambut semangat Presiden dalam mengundang investasi seluas-luasnya ke Indonesia, dalam tulisan singkat ini akan dibahas mengenai dampak korupsi sebagai extraordinary crime terhadap investasi, yang menjadi salah satu acuan penting bagi investor dalam berinvestasi di suatu Negara.  

 Tren Pemberantasan Korupsi 

Dalam perspektif hukum, pengertian korupsi telah dijelaskan dalam 13 Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana, namun semuanya itu pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tujuh topik besar yaitu perbuatan-perbuatan yang terkait dengan kerugian Negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.

Isu pemberantasan korupsi dapat dikatakan selalu menjadi trending topic di Indonesia. Hal ini terlihat dalam proses pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) yang diliput banyak media dan menarik perhatian masyarakat luas. Saran bahkan kritikan telah mengalir deras ke Panitia Seleksi (Pansel) yang telah bekerja keras untuk menyaring calon pimpinan KPK yang diharapkan mampu menghentikan sepak terjang para koruptor yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, setiap komponen masyarakat diundang oleh Pansel untuk berpartisipasi melalui email (panselkpk2019@setneg.go.id) dalam memberikan masukan tentang rekam jejak para capim KPK yang namanya sudah tersebar di media massa.

Korelasi Korupsi Dan Investasi

Sebagai Advokat yang berpengalaman dalam mewakili dan berkomunikasi secara intens dengan Chief Executive Officer (CEO) yang berasal dari Negara-negara asing yang dikenal bersih dalam penyelenggaraan pemerintahan mereka, Penulis akan menguraikan beberapa hal terkait pengaruh korupsi terhadap investasi, yang dirangkum dari pandangan para CEO asing yang pernah mempercayakan kasus hukumnya untuk ditangani penulis.

Dalam dunia bisnis, tingkat prediktabilitas Return on Investment (RoI) sangat penting untuk pertimbangan investor dalam menginvestasikan dana mereka di sebuah Negara. Secara sederhana, RoI dapat diartikan sebagai perbandingan antara keuntungan bersih dari sebuah investasi dan biaya yang dikeluarkan untuk investasi tersebut. Sebuah RoI yang tinggi berarti penghasilan yang diperoleh dari investasi tersebut lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.

Sebagai sebuah ukuran keberhasilan, RoI dipakai untuk mengevaluasi efisiensi sebuah investasi atau untuk membandingkan tingkat efisiensi dari beberapa investasi yang berbeda. Sebelum berinvestasi, investor terlebih dahulu melakukan riset bahkan kajian yang komprehensif tentang tingkat prediktabilitas, yang antara lain dapat diukur dari faktor keamanan, stabilitas, kebijakan-kebijakan strategis pemerintah, termasuk kepastian penegakan hukum di sebuah negara. 

Untuk itu, diperlukan sebuah “ekosistem” yang bersih dan sehat dalam sebuah Negara agar menjadi menarik di mata investor. Salah satu faktor yang sangat berpotensi merusak “ekosistem” yang baik tersebut adalah korupsi, karena di Negara yang tingkat korupsinya tinggi pasti menyebabkan ketidakstabilan usaha yang berujung pada sebuah kondisi di mana investor sulit untuk memprediksi tingkat RoI. 

Ketidakstabilan tersebut tentunya mempengaruhi proses pengambilan keputusan berinvestasi, karena dikhawatirkan tingkat RoI yang diharapkan akan berkurang secara signifikan atau menjadi rendah, karena terjadinya peningkatan biaya yang diakibatkan oleh adanya pungutan liar, uang pelicin bahkan dana pengamanan yang “terpaksa” harus diberikan kepada oknum tertentu yang memiliki kekuasan untuk menekan investor. 

Korupsi menempatkan Orang Yang Tidak Kompeten Pada Jabatan Strategis 

Dalam menjalankan usahanya, investor yang berasal dari Negara-negara maju terbiasa berurusan atau berkomunikasi dengan standar profesionalisme yang tinggi, memiliki landasan akuntabilitas yang jelas dengan mengedepankan efisiensi dan efektifitas dalam bekerja. Korupsi dalam bentuk jual beli jabatan dapat mendudukkan  orang-orang yang tidak kompeten dalam posisi atau jabatan strategis yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Karena jabatan itu diperoleh dari hasil lobby, bahkan suap, maka mereka bukan bekerja dengan mental pelayan atau pengabdi Negara yang professional melainkan mental “pebisnis” yang harus mengembalikan “investasi” yang telah dilakukannya untuk meraih jabatan itu dan selanjutnya mencari untung besar melalui jabatan yang telah dipegangnya. Ketika investor yang berasal dari Negara yang tergolong bersih dari korupsi berhubungan dengan pejabat sejenis itu, terjadilah “benturan” dalam berbagai aspek, baik profesionalisme dalam bekerja, maupun akuntabilitas dan kepatuhan terhadap norma dan ketentuan hukum yang berlaku. Benturan seperti ini jelas dapat mengurungkan minat investor untuk berinvestasi di sebuah Negara. 

Korupsi Menciptakan SDM Berkualitas Rendah

Pengalaman sang CEO tersebut juga mengungkapkan bahwa di Negara-negara berkembang yang tingkat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tergolong tinggi, sering dijumpai bahwa proses rekrutmen di badan-badan pemerintahan bukan didasarkan pada kompetensi melainkan suap menyuap dan hubungan, apakah itu hubungan kekeluargaan, kesukuan atau pertemanan. Jadi, KKN “menghilangkan” kompetisi yang seharusnya terjadi agar diperoleh hasil yang terbaik. Kalau pun ada kompetisi melalui serangkaian tes atau ujian, itu pun hanya formalitas belaka karena pemenang atau mereka yang akan diterima sudah ditentukan terlebih dahulu oleh pimpinan yang menerima suap atau kerabatnya yang memegang tampuk pimpinan. Praktek-praktek curang seperti ini dalam skala tertentu dapat “memadamkan” semangat orang-orang yang berkeinginan untuk belajar dengan giat untuk meraih prestasi yang tinggi atas dasar kompetensi karena mereka terlanjur skeptis dengan maraknya praktek KKN.  Konsenkuensinya, ketika pegawai-pegawai yang duduk di kursi Pemerintahan melalui hasil KKN tersebut berhubungan dengan investor, akan terjadi “benturan”, terutama dalam hal profesionalisme karena mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang berkualitas rendah dan tidak sanggup menduduki posisi atau jabatan-jabatan Pemerintah yang berhubungan dengan investor.

Last but not least, kita berharap agar pimpinan dan setiap orang yang bekerja di KPK memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap permasalahan investasi, dalam kaitannya dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi, sehingga Indonesia bukan hanya menjadi negara yang siap untuk menerima investasi, namun juga mumpuni dalam membangun negeri dengan karakter bangsa yang kuat dan berintegritas.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES


Share this article