Share this article

Bagaimana kedudukan hukum tentang penyelesaian hutang piutang melalui PKPU oleh debitor?

Hutang piutang merupakan hal yang lazim dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Namun, keadaan ekonomi tidak selalu berjalan mulus seperti yang pernah terjadi di Indonesia yakni pada saat krisis moneter pada tahun 1997 silam. Pada saat itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar meningkat dengan drastis, yang mengakibatkan banyak perusahaan di Indonesia tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Atas kejadian inilah, mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang (“PKPU”) lahir untuk mengakomodir perusahaan agar dapat mempunyai kesempatan untuk melunasi utang-utangnya sebelum dinyatakan pailit.

Dasar hukum dari PKPU adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU No. 37/2004”). Menurut Pasal 222 ayat (1), PKPU diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor, atau dapat juga diajukan oleh Kreditor. Sementara itu, Pasal 1 angka 2 UU No. 37/2004 mendefinisikan kreditor sebagai orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Kemudian, bagaimana cara mengajukan permohonan PKPU oleh debitor? Mari simak ulasan singkatnya.

Pertama, permohonan PKPU harus diajukan ke Pengadilan Niaga dalam lingkup Peradilan Umum yang daerah hukumnya meliputi daerah kedudukan hukum debitor.[1] Jika debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana yang dimaksud dalam anggaran dasarnya (Pasal 3 ayat (5) UU No. 37/2004). Permohonan PKPU juga harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya. Selain itu, pada surat permohonan tersebut dapat dilampirkan juga rencana perdamaian.[2]

Kemudian, Pasal 225 ayat (2) UU No. 37/2004 mengatur bahwa dalam waktu 3 (tiga) hari sejak didaftarkannya permohonan PKPU tersebut, Pengadilan Niaga harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor. Setelah putusan PKPU Sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil Debitor dan Kreditor yang dikenal dengan Surat Tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan. Jika debitor tidak menghadiri sidang tersebut, PKPU Sementara berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit dalam sidang yang sama.[3]

PKPU Sementara wajib diumumkan oleh Pengurus dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam paling sedikit 2 (dua) Surat Kabar yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, di mana pengumuman tersebut juga memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim. Undangan tersebut juga memuat tanggal, tempat, waktu sidang, nama Hakim Pengawas, dan nama serta alamat pengurus.[4] PKPU Sementara berlaku sejak tanggal PKPU tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang diselenggarakan.

Dalam persidangan, Pengadilan harus mendengar Debitor, Hakim Pengawas, Pengurus dan Kreditor yang hadir, wakilnya, atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa. Selain itu, para kreditor berhak untuk hadir walaupun yang bersangkutan tidak menerima panggilan untuk itu. Hal ini diatur dalam Pasal 228 ayat (1) dan (2) UU No. 37/2004. Merujuk kepada permohonan PKPU yang sebelumnya telah diajukan, jika debitor pada saat itu sudah melampirkan rencana perdamaian atau paling tidak sudah disampaikan oleh debitor sebelum sidang, maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dapat dilakukan.[5] Jika belum disampaikan, maka Kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU Tetap, dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, Pengurus, dan Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya.[6]

Apabila PKPU Tetap disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan. Hal ini sesuai dengan aturan dalam Pasal 228 ayat (6) UU No. 37/2004.

Demikian ulasan singkat terkait permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor. Semoga bermanfaat.

 

[1] Pasal 3 ayat (1) UU No. 37/2004

[2] Pasal 224 ayat (2) dan (5) UU No. 37/2004

[3] Pasal 225 ayat (4) dan (5) UU No. 37/2004

[4] Pasal 226 ayat (1) UU No. 37/2004

[5] Pasal 228 ayat (3) UU No. 37/2004

[6] Pasal 228 ayat (4) UU No. 37/2004


Share this article