Share this article

Bagi pemilik kendaraan bermotor pasti sudah tidak asing dengan istilah leasing. Leasing adalah salah satu jenis lembaga pembiayaan. Leasing artinya sewa guna usaha dan merupakan perusahaan yang memberikan pinjaman berupa barang modal. Leasing hanya memberikan manfaat pada barang modal yang digunakan bukan kepemilikan atas barang yang disewakan. Bila terjadi kredit macet, maka barang yang disewa bisa diuangkan dan digunakan untuk menutupi sisa angsuran.

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang sedikit banyak mempengaruhi persoalan dalam bidang leasing dan fidusia. Adalah Joshua Michael Djami, seorang Warga Negara Indonesia yang merupakan karyawan di sebuah perusahaan finance dengan jabatan selaku Kolektor Internal dan telah bersertifikasi profesi di bidang penagihan yang mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dengan objek permohonan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU 42/1999”) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Permohonan itu sendiri telah diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 tertanggal 31 Agustus 2021 (“Putusan MK 2/2021”). Salah satu pertimbangan Majelis Hakim Putusan MK 2/2021 yang terdapat pada halaman 83 poin 3.14.3. menyebutkan bahwa:

“[3.14.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami secara utuh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam kaitannya dengan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri pada dasarnya telah memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri;

Bahwa selain itu, jika dicermati petitum permohonan Pemohon, yaitu petitum angka 2 yang pada pokoknya meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai kembali ke Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebelum diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menurut Pemohon justru dengan adanya Putusan Mahkamah, eksekusi melalui pengadilan telah menyulitkan Pemohon selaku kolektor atau perusahaan pembiayaan, aparat penegak hukum, dan konsumen terhadap pelaksanaan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami substansi Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya karena penafsiran norma dalam frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” sudah tepat dan memberikan sebuah bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian fidusia;

…”

Dalam pertimbangan di atas terlihat bahwa untuk debitur yang mengakui ada wanprestasi, bisa menyerahkan sendiri objek jaminan fidusia kepada kreditur. Juru bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menjelaskan mengenai putusan tersebut (Putusan MK 2/2021). Beliau mengatakan bahwa Putusan MK 2/2021 tidak berbeda dengan putusan sebelumnya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 (“Putusan MK 18/2019”). Beliau juga menegaskan bahwa Putusan MK 2/2021 adalah penegasan dari Putusan MK 19/2019. Hal ini dapat dimaklumi mengingat Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 telah diujikan sebelumnya di Putusan MK 19/2019. Fajar menjelaskan, maksud dari Putusan MK 2/2021 yakni adanya alternatif yang bisa dilakukan kreditur apabila kesepakatan penyerahan jaminan fidusia tak menemui kesepakatan. Alternatif tersebut harus melewati pengadilan. [1]

Kembali ke persoalan leasing, yang perlu diperhatikan sebelum mengambil keputusan membeli kendaraan dengan cara kredit adalah membaca dengan detail dan teliti surat perjanjian yang diberikan oleh lembaga leasing. Fakta di lapangan menunjukkan, lembaga leasing dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencantumkan kata “dijaminkan secara fidusia”. Tetapi tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Berdasarkan UU 42/1999, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dalam UU 42/1999 terdapat pihak-pihak yang disebut sebagai Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia dengan makna sebagai berikut:

  1. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
  2. Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.

Secara awam, Pemberi Fidusia disebut Debitur atau Penerima Barang sedangkan Penerima Fidusia disebut Kreditur atau Pemilik Barang yang dalam praktik fidusia, pemilik barang hanya menyerahkan kepemilikan pada pihak lain tetapi penguasaannya tetap dimiliki oleh Kreditur. Dengan demikian terdapat juga istilah Jaminan Fidusia di mana penyerahan kepemilikan ini juga disertai dengan pemberian jaminan kepada pihak lain. Jaminan fidusia sendiri merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.

Jaminan fidusia dapat dilakukan dan ditetapkan dalam sebuah Sertifikat Jaminan Fidusia yang diresmikan oleh seorang notaris. Dengan adanya sertifikat ini juga dapat dijadikan suatu perlindungan untuk kedua belah pihak, baik sebagai peminjam (debitur) maupun sebagai pemberi pinjaman (kreditur) sehingga para pihak tidak ada yang dirugikan.

Fungsi sertifikat jaminan fidusia bagi pemberi pinjaman (kreditur) yaitu adanya sertifikat jaminan fidusia dapat menjadi satu landasan serta kekuatan hukum untuk pengambilan benda apabila debitur tidak dapat melunasi pinjaman. Sertifikat jaminan fidusia tentunya dibuat dalam akta notaris dan didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.

Praktik sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur  mengajukan pembiayaan kepada kreditur, lalu kedua belah sepakat menggunakan jaminan fidusia terhadap benda yang dikuasai yang dalam penguasaannya tetap dimiliki oleh kreditur dan kemudian dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifikat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur.  Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusiamaka kreditur mempunyai hak eksekusi langsung, seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan.[2]

Terkadang lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan atau disebut sebagai jaminan fidusia di bawah tangan. Tanpa adanya sertifikat jaminan fidusia maka pemberi pinjaman (lembaga pembiayaan) melalui debt collector tidak boleh serta merta melakukan eksekusi di jalan karena berpotensi menimbulkan pidana. Saat pemberi pinjaman memiliki piutang lalu mengalami macet pembayarannya, maka pemberi pinjaman dapat menggunakan haknya untuk mengambil kepemilikan barang. Namun, eksekusi yang dilakukan harus sesuai dengan aturan dan tidak dapat dilakukan secara sembarangan.

Pihak lembaga pembiayaan (kreditur) maupun penerima pinjaman (debitur) harus secara sungguh-sungguh melaksanakan perjanjian yang telah disepakati dan di tanda tangani oleh kedua belah pihak. Debitur wajib mematuhi dengan itikad baik membayar cicilan sesuai dengan waktu yang disepakati. Adapun mengenai cedera janji (wanprestasi) oleh debitur, maka pihak debitur maupun kreditur harus bersepakat terlebih dahulu untuk menentukan kondisi seperti apa yang membuat wanprestasi terjadi. 

Dikutip dari kompas.com[3], berikut 5 (lima) lembaga yang dapat anda hubungi jika menemui adanya debt collector yang berperilaku sewenang-wenang dalam menagih, hingga berbuat kasar, padahal anda merasa tidak melakukan cedera janji (wanprestasi):

  1. Bank Indonesia (BI)

Jika anda mendapat ancaman atau perlakuan kasar dari debt collector saat menunaikan kewajibannya, laporkan saja ke BI. Sebagai otoritas moneter, BI berkewajiban memberikan perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran (penarikan dana, transfer dana, kegiatan alat pembayaran menggunakan kartu ATM/debet/kartu kredit, uang elektronik, dan lainnya)

Pengaduan BI dapat disampaikan melalui:

Surat: Dikirim ke Gedung Tipikal, Lantai 1 DUPK BI.

  • Datang langsung ke Gedung B lantai 1, Komplek Perkantoran BI, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Gambir, Jakarta Pusat
  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Pengaduan debt collector ‘nakal’ juga bisa lewat OJK. Lembaga ini merupakan otoritas pengawas industri jasa keuangan yang wajib melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Pengaduan tersebut dapat anda layangkan ke OJK melalui:

  • Surat: Ditujukan kepada Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen. Beralamat di Menara Radius Prawiro, Lantai 2 Komplek Perkantoran BI, Jl. MH. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat 10350
  • Telepon: 157 (Senin-Jumat pukul 08.00-17.00 WIB, kecuali hari libur)
  • E-mail: konsumen@ojk.go.id
  • Form pengaduan online: http://konsumen.ojk.go.id/FormPengaduan.
  • Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

Lembaga lain yang menerima pengaduan konsumen, termasuk pengguna layanan jasa keuangan adalah YLKI. Biasanya aduan yang ditampung YLKI, akan diteruskan lagi kepada OJK maupun BI untuk segera ditindaklanjuti. Jika ada perilaku premanisme oleh debt collector saat menagih utang, anda dapat melaporkannya ke YLKI melalui:

  • Call center: 021-7981858 atau 7971378
  • Datang langsung ke Jl. Pancoran Barat VII/1, Duren Tiga, Jakarta Selatan 12760
  • Pelayanan pengaduan konsumen: Senin-Jumat pukul 09.00-15.00 WIB. Untuk saat ini, layanan pengaduan YLKI telah beralih ke sistem online. Jadi bila ingin melakukan pengaduan, dapat membuat janji atau permintaan lebih dahulu melalui online http://pelayanan.ylki.or.id
  • Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

Mendapat intimidasi dari debt collector? Anda dapat meminta bantuan atau mengadukannya ke YLBHI. Kantor LBH tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia, seperti LBH Jakarta, LBH Banda Aceh, LBH Padang, LBH Bandung, LBH Yogyakarta, LBH Denpasar, hingga LBH Papua. Datang saja langsung ke kantor LBH sesuai domisili anda dan laporkan. Untuk kantor pusat YLBHI, berada di Jl. Diponegoro No. 74, Menteng, Jakarta Pusat 10320. Bisa juga lewat telepon di nomor 021-3929840, faks 021-31930140, atau email ke alamat info@ylbhi.or.id.

  • Kantor Polisi

Selain empat lembaga di atas, mengadukan debt collector nakal juga bisa langsung datang ke kantor polisi terdekat. Membuat laporan, sehingga dapat segera ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES


[1] Penjelasan MK: Debt Collector Tak Boleh Sita Barang Kredit Secara Paksa, https://kumparan.com/kumparannews/penjelasan-mk-debt-collector-tak-boleh-sita-barang-kredit-secara-paksa-1wVbbbp8Di3/full, diakses 13 September 2021.

[2] Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah Tangan, https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17783/eksekusi-terhadap-benda-objek-perjanjian-fidusia-dengan-akta-di-bawah-tangan?page=all, diakses 16 September 2021.

[3] Diteror Debt Collector? Ini Lima Cara Menghadapinya, https://money.kompas.com/read/2021/05/14/120000126/diteror-debt-collector-ini-lima-cara-menghadapinya?page=all, diakses 14 September 2021


Share this article