Share this article

Artikel ini merupakan rangkuman dari materi Webinar PPHKI tanggal 17 Juni 2020 yang dibawakan oleh Johan Imanuel, S.H., Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan.

Pandemi COVID-19 telah memunculkan beberapa permasalahan yang tidak dapat dihindari dalam hubungan industrial. New normal di Indonesia juga memunculkan tantangan tersendiri bagi pemerintah, perusahaan, dan pekerja dalam hubungan industrial. Semua pihak berharap roda ekonomi dapat berputar kembali dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Berikut adalah beberapa permasalahan yang muncul dalam hubungan industrial akibat pandemi COVID-19, antara lain:

  • Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan edaran sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Namun permasalahannya adalah edaran tersebut tidak bersifat mengikat;
  • Pemerintah Daerah mengeluarkan kebijakan PSBB dan sektor tertentu bisa beroperasi. Namun permasalahannya adalah tidak ada kebijakan dispensasi dalam perizinan untuk alih usaha sementara waktu;
  • Perusahaan mengambil kebijakan untuk mencegah penyebaran COVID-19 dan taat PSBB dengan cara: menerapkan WFH, penyesuaian upah berdasarkan jabatan, THR diangsur, PKWT dipercepat, PHK dengan alasan Force Majeure. Namun permasalahannya adalah kebijakan perusahaan karena Pandemi COVID-19 tersebut tidak diatur dalam Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama;
  • Pekerja bekerja dari rumah atau WFH. Namun permasalahannya adalah beberapa pekerjaan offline tidak dapat dilakukan di rumah apabila sarana dan prasarana berada di perusahaan.

Masingmasing pelaku hubungan industrial memiliki keinginannya masing-masing:

  • Pemerintah ingin memberikan stimulus kepada perusahaan yang terkena dampak COVID-19;
  • Perusahaan ingin tetap mempertahankan kelangsungan usaha meskipun terkena dampak COVID-19; dan
  • Pekerja ingin tetap memperoleh hak dari perusahaan selama pandemi COVID-19 berlangsung demi memenuhi kebutuhan hidup, mendapat bantuan sembako dari Pemerintah / Perusahaan, memiliki uang tunai yang cukup selama terkena dampak Covid-19.

Masing-masing pihak dapat mengakomodir keinginan di atas dengan cara berikut:

  • Pemerintah wajib memberikan stimulus atau relaksasi bagi perusahaan dalam hal kewajiban terhadap negara seperti perpajakan, iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, bantuan dana untuk operasional;
  • Perusahaan tetap mempekerjakan pekerja atau jika terpaksa mempercepat PKWT atau PHK, wajib tetap membantu pekerja dalam pemberian hak yang harus diterima (berdasarkan kesepakatan bersama dan itikad baik);
  • Pekerja juga bersedia turut membantu perusahaan dalam hal perusahaan terdampak COVID-19 namun masih tetap dapat mempertahankan kelangsungan usaha seperti: bersedia WFH, bersedia disesuaikan upahnya, bersedia THR diangsur, bersedia mengikuti aturan keselamatan dan kesehatan kerja sesuai protokol pemerintah, bersedia tidak bepergian ke luar negeri atau kota selama pandemi COVID-19.

Menuju New Normal

Perlu diperhatikan juga lima arahan presiden terkait penerapan Adaptasi Baru:[1]

Pertama, Presiden mengingatkan pentingnya prakondisi yang ketat. Sosialisasi kepada masyarakat harus dilakukan secara masif terutama mengenai protokol kesehatan yang harus diikuti, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan atau keramaian, hingga menjaga imunitas tubuh.

Kedua, Presiden mengingatkan pentingnya perhitungan yang cermat dalam mengambil kebijakan yang harus didasarkan pada data dan fakta di lapangan. Terkait hal ini, Presiden meminta tiap kepala daerah yang ingin memutuskan daerahnya masuk ke fase adaptasi kebiasaan baru agar berkoordinasi dengan Gugus Tugas.

Ketiga, Presiden juga mengingatkan soal penentuan prioritas yang harus disiapkan secara matang mengenai sektor dan aktivitas mana saja yang bisa dimulai dan dibuka secara bertahap. Sebagai contoh, pembukaan tempat ibadah secara bertahap dengan terlebih dahulu menyiapkan dan menerapkan protokol kesehatan di tempat ibadah dinilai Presiden sudah sangat baik.

Keempat, Presiden ingin agar konsolidasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah, mulai dari provinsi hingga tingkat RT, terus diperkuat. Ia juga meminta agar koordinasi internal Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) diperkuat. 

Kelima, Presiden meminta agar dilakukan evaluasi secara rutin. Meskipun kasus baru sebuah daerah sudah menurun, Presiden mengingatkan agar jajarannya tidak lengah, terutama karena kondisi di lapangan masih sangat dinamis. Menurutnya, keberhasilan pengendalian COVID-19 sangat ditentukan oleh kedisiplinan dan protokol kesehatan.

Panduan Bagi Pengusaha dan Bisnis dalam New Normal

Dalam menghadapi New Normal, beberapa hal ini harus diperhatikan oleh Pengusaha dan Bisnis:[2]

  • Sampaikan pada karyawan yang sakit agar beristirahat di rumah meskipun hanya demam ringan, batuk, atau pilek;
  • Bila memungkinkan, atur agar karyawan bekerja dari rumah;
  • Hindari pertemuan besar. Sebagai pengganti bisa melakukan conference calls;
  • Pastikan karyawan mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir dengan benar, jangan bersalaman dan mengikuti etika saat batuk atau bersin (tutup dengan siku terlipat atau tisu yang langsung dibuang);
  • Siapkan dispenser cairan pembersih tangan di tempat-tempat penting seperti dekat pintu masuk/keluar, saklar lampu, tempat makan, kasir, toilet, dll;
  • Pastikan sabun dan air mengalir tersedia di toilet;
  • Identifikasi orang-orang berisiko dan diskusikan bersama opsi-opsi bekerja yang memungkinkan (kerja dari rumah, dll);
  • Buat kebijakan yang lebih fleksibel yang memungkinkan karyawan bekerja dari rumah karena merawat anggota keluarga yang sakit;
  • Hindari perjalanan bisnis dan bila harus, tetap waspada selama perjalanan;
  • Pasang poster-poster pencegahan COVID-19 di tempat kerja; dan
  • Secara teratur bersihkan permukaan benda-benda yang sering disentuh karyawan dengan cairan disinfektan semisal komputer, meja-meja, dan gagang pintu.

Harapan Hubungan Industrial dalam New Normal

Dalam keadaan new normal ini masing-masing pihak dalam Hubungan Industrial juga memiliki keinginan. Pihak pemerintah (Menteri Tenaga Kerja) meminta perusahaan mempekerjakan kembali pekerja yang terkena PHK selama pandemi COVID-19. Perusahaan berharap dapat beroperasi secara normal untuk memperoleh omset. Sementara itu pekerja berharap untuk memperoleh upah yang normal kembali.

Tantangan Hubungan Industrial dalam New Normal

  1. Mempekerjakan kembali pekerja yang terkena PHK atau PKWT dipercepat.  Dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) diatur mengenai mempekerjakan pekerja kembali . Lalu pertanyaannya, apakah ketentuan tersebut dapat diterapkan?
  2. Perusahaan ingin kegiatan operasional berjalan dengan normal tetapi kebijakan pemerintah daerah masih membatasi, seperti masa transisi PSBB;
  3. Prioritas utama perusahaan adalah keselamatan dan kesehatan kerja dengan mematuhi protokol pencegahan COVID-19 dalam masa transisi; membentuk tim khusus pencegahan COVID-19; melakukan self assessment risiko COVID-19; membuat protokol kesehatan; melaksanakan social distancing dalam ruang kerja, ruang rapat (conference call); menyediakan sarana dan prasarana pencegahan COVID-19 (pengecekan suhu, penyediaan masker dan hand sanitizer, fasilitas cuci tangan, face shield, disinfektan, ruang kerja model baru ditandai X pada meja dan kursi kerja tertentu; menyediakan poster Perilaku Hidup Bersih dan Sehat/PHBS), pengaturan jadwal kerja (50 persen bekerja dari kantor, 50 persen bekerja dari rumah); mengurus perizinan baru bila diperlukan (restoran memerlukan Sertifikat Laik Sehat);
  4. Pekerja wajib melaksanakan protokol kesehatan dan kebijakan perusahaan dalam bekerja selama masa transisi  PSBB.

Potensi Masalah Hubungan Industrial dalam Menghadapi New Normal

Terkait dengan isu mempekerjakan kembali pekerja yang terkena PHK atau PKWT yang dipercepat, belum ada regulasi yang mengikat dari Pemerintah atau Kementrian Tenaga Kerja. Hal ini merupakan potensi masalah karena menimbulkan pertanyaan: apa dasar hukum bagi perusahaan untuk mempekerjakan kembali di saat new normal ?

Potensi masalah berikutnya adalah perusahaan diharapkan memberikan upah yang normal padahal kondisi keuangan belum stabil karena dampak Pandemi COVID-19. Bagaimana bila perusahaan tidak sanggup? Apakah berlaku sanksi bagi perusahaan?

Selain itu, pekerja mungkin saja diminta melakukan pekerjaan yang tidak diperjanjikan demi membantu keuangan perusahaan yang belum stabil karena dampak pandemi COVID-19. Misalnya, semua pekerja diminta ikut memasarkan produk. Permasalahannya adalah bagaimana kalau pekerja tidak bersedia? Apakah akan muncul potensi perselisihan hubungan industrial karena pekerja tidak mau ikut memasarkan produk?

REKOMENDASI

Dalam UU Ketenagakerjaan telah diatur mengenai mempekerjakan kembali pekerja (Pasal 170 UU Ketenagakerjaan), namun dalam prakteknya mempekerjakan kembali bukanlah hal yang mudah, bahkan sudah ada penetepan dari Pengadilan Hubungan Industrial untuk mempekerjakan kembali bagi pekerja yang di PHK, namun sulit untuk dilaksanakan.

Berikut adalah kutipan dari sebuah artikel yang membahas mengenai memperkerjakan kembali karyawan yang terkena PHK:

“………..Dalam amar putusannya No. 150/G/2013/PHI/PN.Bdg bertanggal 5 Agustus 2014, PHI Bandung memerintahkan PT. Atsumi Indonesia yang berada di Jl. Jababeka XII Blok W Nomor 8, Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Bekasi itu, untuk mempekerjakan kembali Abdul Muhadi, dkk dengan status kerja sebagai pekerja tetap. Putusan PHI tersebut kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung (MA) dengan Putusan No. 261 K/Pdt.Sus-PHI/2015 bertanggal 21 Mei 2015. Namun tak kunjung dipekerjakan kembali, meski putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap (in kraacht van gewijsde). …..”[3]     

Oleh karena itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang  lebih menunjang bagi perusahaan untuk mempekerjakan kembali pekerja yang terkena PHK saat pandemi COVID-19.

Sebaiknya, perusahaan dapat memberikan penggantian upah yang disesuaikan saat Perusahaan terkena dampak COVID-19 pada saat kondisi keuangan sudah normal karena bagaimanapun pekerja adalah aset perusahaan yang dituangkan dalam bentuk SK Direksi.

Lebih lanjut, apabila Pekerja tidak sanggup melaksanakan pekerjaan yang tidak dijanjikan dalam kondisi new normal, maka tidak ada salahnya melakukan musyawarah untuk mencari jalan keluar terbaik (win-win solution) dan pekerja tidak serta merta mengkualifikasikan langkah perusahaan sebagai Perselisihan Hak (Pasal 169 UU Ketenagakerjaan: ”Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut : ..e memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan…”).

Demikian disampaikan dan semoga bermanfaat.

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES


[1] https://covid19.go.id/p/berita/lima-arahan-presiden-terkait-penerapan-adaptasi-kebiasaan-baru

[2] Sumber : www.covid19.go.id

[3] https://buruh-online.com/2016/03/belum-dipekerjakan-kembali-berdasarkan-putusan-buruh-gugat-pesangon.html


Share this article