Share this article

Perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam sistem hukum Indonesia. Anak-anak sebagai kelompok rentan memerlukan perlindungan khusus, terutama dalam konteks memberikan kesaksian terkait tindak pidana yang mereka alami. Kedudukan kesaksian anak sebagai korban tindak pidana diatur dalam berbagai peraturan hukum Indonesia dengan memperhatikan aspek perlindungan hak-hak anak.

Dasar Hukum Perlindungan Anak sebagai Korban Tindak Pidana

  1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang ini menjadi dasar utama perlindungan anak di Indonesia. Pasal 71 UU tersebut mengatur mengenai hak anak korban tindak pidana, di mana anak memiliki hak untuk diperlakukan secara adil dan manusiawi selama proses hukum, termasuk dalam memberikan kesaksian.

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang ini mengatur sistem peradilan pidana khusus bagi anak sebagai pelaku tindak pidana atau sebagai korban tindak pidana. Dalam konteks kesaksian, UU ini menekankan pentingnya penyelenggaraan peradilan yang memperhatikan kondisi dan kepentingan terbaik bagi anak.

  1. Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC)

Indonesia sebagai negara anggota Konvensi ini juga mengakui hak-hak anak, termasuk hak anak sebagai korban tindak pidana. Konvensi ini menekankan perlunya perlindungan khusus bagi anak korban, termasuk ketika memberikan kesaksian di pengadilan.

Perlindungan dan Kedudukan Kesaksian Anak

  1. Perlindungan Identitas Anak yakni dalam memberikan kesaksian, anak korban tindak pidana dilindungi identitasnya. Pengadilan dan lembaga terkait berkewajiban menjaga kerahasiaan identitas anak agar tidak terpapar publik yang bisa merugikan anak tersebut secara psikologis dan sosial.
  2. Pendampingan Hukum dan Psikologis yakni Anak korban tindak pidana berhak mendapatkan pendampingan hukum dan psikologis selama proses hukum. Pendampingan ini bertujuan untuk memastikan anak dapat memberikan kesaksian dengan kondisi yang tenang dan mendukung pemulihan psikologisnya.
  3. Penggunaan Metode Khusus dalam Pemeriksaan yakni Pengadilan harus menggunakan metode khusus dalam memeriksa anak sebagai saksi, termasuk melalui pemeriksaan yang ramah anak. Proses pemeriksaan harus dilakukan secara hati-hati dan memperhatikan kondisi anak agar tidak menimbulkan trauma atau tekanan lebih lanjut.

Perlindungan terhadap kesaksian anak sebagai korban tindak pidana merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh sistem hukum Indonesia. Melalui regulasi yang telah disusun, hak-hak anak korban tindak pidana dijaga agar proses peradilan berlangsung dengan adil dan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Dengan demikian, anak-anak dapat memberikan kesaksian tanpa merasa terancam dan dipastikan mendapatkan perlindungan yang layak selama proses hukum.

Dalam suatu peristiwa pidana yang melibatkan seorang anak sebagai korbannya, ia dapat menjadi saksi untuk memberikan keterangan sesuai dengan apa yang dilihat, didengar, atau dialaminya. Pasal 1 angka 5 UU 11/2012 menyebutkan sebagai berikut:

“Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah orang yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”

Kemudian perlu Anda ketahui, Pasal 171 KUHAP menyebutkan bahwa anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin boleh diperiksa untuk memberi keterangan, tapi tidak boleh disumpah. Sehingga, saksi anak yang usianya di bawah 15 tahun dan belum kawin, anak tersebut tidak disumpah, dan keterangannya tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, melainkan hanya jadi petunjuk saja. Kecuali saksi korban anak telah berusia 15 tahun ke atas, keterangannya baru bisa disumpah dan menjadi alat bukti yang sah.

Selanjutnya dalam menjalani proses pemeriksaan, anak saksi tidaklah sendiri melainkan wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya anak saksi. Demikian bunyi Pasal 23 ayat (2) UU 11/2012. Selain itu, anak saksi berhak atas perlindungan dan hak antara lain upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga, jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial, dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  4. Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC).

Demikian disampaikan, semoga bermanfaat.

Fredrik J Pinakunary Law Offices

 

 


Share this article