Share this article

Pada akhir 2019 lalu, beredar sebuah video yang viral di media sosial tentang dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh petugas satuan keamanan (“Satpam”) kepada seorang pasien Rumah Sakit Jiwa berinisial F berumur 27 tahun. Peristiwa ini terjadi di Rumah Sakit Jiwa Dokter Soeharto Heerdjan (“RSJ Soeharto Heerdjan”), di Grogol, Jakarta Barat. Kronologi awal seperti yang dikutip dari liputan6.com dalam berita yang berjudul “Fakta di Balik Kasus Satpam Aniaya Pasien RSJ Grogol”[1], peristiwa ini terjadi pada hari Selasa, 10 Desember 2019 bermula ketika F yang merupakan pasien di RSJ Soeharto Heerdjan diduga kabur saat olahraga pagi karena dianggap tidak membayar biaya rumah sakit. Lalu seorang petugas keamanan bertindak secara kasar dengan memegang kaos F sambil diputar dan ditekan. Tak lama kemudian, dua orang petugas keamanan datang dengan menggunakan sepeda motor dan memukul perut F dan petugas keamanan yang lain menampar wajah F. F dibawa ke atas motor lalu kembali dianiaya oleh pihak petugas keamanan dan dibawa kembali ke RSJ Soeharto Heerdjan. Insiden ini dibenarkan oleh pihak RSJ Soeharto Heerdjan, yang sudah meminta maaf kepada keluarga korban dan berjanji akan menindak tegas para pelaku juga akan memutuskan kerja sama dengan perusahaan alih daya atau outsourcing yang menaungi petugas keamanan di RSJ Soeharto Heerdjan.

Melihat kasus di atas, tulisan ini akan membahas tentang dasar hukum yang mengatur tentang Satpam di Indonesia.

Pertama-tama berdasarkan Pasal 3 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (“UU No. 2/2002”) disebutkan bahwa:

“Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh:

1. kepolisian khusus;

2. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau

3. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Dalam penjelasan Pasal 3 ayat 1 huruf c UU No. 2/2002 dijelaskan bahwa:

Yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa” adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan.

Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam “lingkungan kuasa tempat” (teritoir gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan.

Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada kawasan perkantoran atau satuan pengamanan pada pertokoan.

Pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan Kapolri.”

Berawal dari UU No. 2/2002 yang hanya menjelaskan secara umum mengenai pengamanan swakarsa, selanjutnya dibuat peraturan khusus mengenai Satpam di Indonesia yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah (“Perkapolri No. 24/2007”).

Dalam Pasal 1 angka 6 Perkapolri No. 24/2007 diatur tentang definisi satpam yang lebih jelas, yaitu:

“Satuan Pengamanan yang selanjutnya disingkat Satpam adalah satuan atau kelompok petugas yang dibentuk oleh instansi/badan usaha untuk melaksanakan pengamanan dalam rangka menyelenggarakan keamanan swakarsa di lingkungan kerjanya.”

Satpam kemudian dibahas lebih lanjut dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 51 Perkapolri No. 24/2007. Adapun hal-hal mengenai tugas, fungsi, dan peranan Satpam dapat dilihat dalam Pasal 6 Perkapolri No. 24/2007, sebagai berikut:

“1. Tugas pokok Satpam adalah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di lingkungan/tempat kerjanya yang meliputi aspek pengamanan fisik, personel, informasi dan pengamanan teknis lainnya.

2. Fungsi Satpam adalah melindungi dan mengayomi lingkungan/tempat kerjanya dari setiap gangguan keamanan, serta menegakkan peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan kerjanya.

3. Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pengemban fungsi kepolisian terbatas, Satpam berperan sebagai:

a. unsur pembantu pimpinan organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah, pengguna Satpam di bidang pembinaan keamanan dan ketertiban lingkungan/tempat kerjanya;

b. unsur pembantu Polri dalam pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan peraturan perundang-undangan serta menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan keamanan (security mindedness dan security awareness) di lingkungan/tempat kerjanya.”

Oleh karena itu, berdasarkan peraturan yang berlaku, sumber anggota Satpam adalah dari 2 hal yang terdapat di Pasal 11 Perkapolri No. 24/2007, yaitu:

“Sumber anggota Satpam diperoleh dari:

1. karyawan permanen yang ditunjuk pimpinan organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah (in-house security);

2. badan usaha di bidang jasa pengamanan (out-source).”

Untuk diangkat menjadi anggota Satpam, seorang calon Satpam harus memenuhi persyaratan yang ada di dalam Pasal 12 ayat 1 Perkapolri No. 24/2007, yaitu:

“1. Untuk diangkat sebagai anggota Satpam, seorang calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. warga negara Indonesia;
  2. lulus tes kesehatan dan kesamaptaan;
  3. lulus psikotes;
  4. bebas Narkoba;
  5. menyertakan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK);
  6. berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum (SMU);
  7. tinggi badan paling rendah 165 (seratus enam puluh lima) cm untuk pria dan paling rendah 160 (seratus enam puluh) cm untuk wanita;
  8. usia paling rendah 20 (dua puluh) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun.”

Selain memenuhi syarat-syarat diatas, seorang satpam juga harus memiliki kemampuan/kompetensi yang diuraikan dalam Pasal 13 Perkapolri 24/2007 sebagai berikut:

“1. Kemampuan/kompetensi anggota Satpam meliputi:

  1. kepolisian terbatas;
  2. keselamatan dan keamanan lingkungan kerja;
  3. pelatihan/kursus spesialisasi di bidang Industrial Security.

2. Kemampuan/kompetensi anggota Satpam sebagai pengemban fungsi Kepolisian Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diperoleh melalui pelatihan Satpam pada Lembaga Pendidikan Polri maupun BUJP yang telah mendapatkan izin dari Kapolri.

3. Kemampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari 3 (tiga) jenjang pelatihan yaitu:

a. Gada Pratama untuk kemampuan dasar;

b. Gada Madya untuk kemampuan menengah; dan

c. Gada Utama untuk kemampuan manajerial.

4. Kemampuan teknis keselamatan dan keamanan lingkungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diperoleh melalui pelatihan in house training pada tempat dimana anggota Satpam bertugas.

5. Pelatihan/Kursus Spesialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berkaitan dengan bidang tugasnya yang diatur secara spesifik baik teknis maupun cakupannya, oleh ketentuan peruntukannya.

6. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) merupakan kewajiban dari instansi/badan/penyelenggara dan pengguna Satpam.”

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ada sejumlah persyaratan dan pelatihan untuk bisa menjadi Satpam. Kembali melihat ke kasus yang di jelaskan di awal artikel ini, apabila terjadi hal seperti yang dilakukan oleh Satpam RSJ Soeharto Heerdjan, bagaimana bentuk pertanggungjawabannya?

Jika dilihat di Bab IV mengenai Hubungan dan Tata Cara Kerja dengan menyoroti Pasal 47 Perkapolri 24/2007, hubungan tata cara kerja Satpam terdapat 3 (tiga) bagian, yaitu vertikal ke atas, horizontal, dan vertikal ke bawah. Masing-masing bagian ini dijelaskan di Pasal 47 ayat 1 Perkapolri 24/2007 sebagai berikut:

        “Hubungan dan Tata Cara Kerja (HTCK) Satpam adalah:

  1. vertikal ke atas, yaitu:
  2. dengan satuan Polri, menerima direktif yang menyangkut hal-hal legalitas kompetensi, pemeliharaan kemampuan dan kesiapsiagaan serta asistensi dan bantuan operasional;
  3. dengan instansi/departemen teknis pemerintah, menerima direktif hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan teknis sesuai dengan bidangnya;
  4. dengan asosiasi yang membawahi Satpam, menerima direktif hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan keprofesian termasuk kesejahteraan di bidang industrial security dan advokasi terhadap masalah-masalah hukum yang terjadi;
  5. horizontal, yaitu antar Satpam dengan komponen organisasi yang sejajar di lingkungan kerja maupun dengan organisasi kemasyarakatan di sekitar lingkungan kerja, dengan ketentuan:
  6. antar Satpam bersifat koordinatif saling tukar informasi guna mendukung pelaksanaan tugas masing-masing;
  7. dengan komponen organisasi di lingkungan kerja bersifat koordinasi untuk efisiensi dan efektivitas kegiatan dalam pembinaan keamanan dan ketertiban;
  8. dengan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan di sekitar tempat tugas bersifat koordinasi guna menciptakan situasi yang saling manfaat dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
  9. vertikal ke bawah, yaitu:
  10. dalam ikatan organisasi, maka organisasi yang lebih atas melakukan pengawasan, pengendalian dan bantuan terhadap kegiatan serta menerima laporan pelaksanaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  11. dalam ikatan perorangan, maka kompetensi yang lebih atas dapat melakukan pengawasan teknis penerapan kode etik dan tuntunan pelaksanaan tugas serta melakukan tindakan korektif.”

Selain itu, pada setiap lingkungan kerja HTCK harus dijabarkan dalam satu prosedur standar (Standard Operating Procedure/SOP) yang menjadi pedoman pokok pelaksanaan kegiatan pengamanan[2] yang didalamnya terdapat aturan-aturan mengenai prosedur standar serta sanksi yang dapat diberikan.

Berdasarkan uraian di atas, pihak keluarga dari pihak yang diduga dianiaya dapat melaporkan ke polisi mengenai tindak pidana dengan menggunakan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana[3], atau Satpam tersebut dialporkan agar dapat diberikan sanksi oleh asosiasi atau dari Badan Usaha Jasa Pengamanan – BUJP[4] yang memperkerjakannya.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES

Temui dan Ikuti kami juga di media sosial kami
LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp


[1] Fakta di Balik Kasus Satpam Aniaya Pasien RSJ Grogol, https://www.liputan6.com/news/read/4132775/fakta-di-balik-kasus-satpam-aniaya-pasien-rsj-grogol, 12 Desember 2019

[2] Pasal 47 ayat 2 Perkapolri 24/2007

Pada setiap lingkungan kerja HTCK harus dijabarkan dalam satu prosedur standar (Standard Operating Procedure/SOP) yang menjadi pedoman pokok pelaksanaan kegiatan pengamanan

[3] Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

  1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
  2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
  3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
  5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

[4] Pasal 1 angka 8 Perkapolri 24/2007

Badan Usaha Jasa Pengamanan yang selanjutnya disingkat BUJP adalah perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang penyediaan tenaga pengamanan, pelatihan keamanan, kawal angkut uang/barang berharga, konsultasi keamanan, penerapan peralatan keamanan, dan penyediaan satwa untuk pengamanan.


Share this article