Share this article

Bagaimana hukumnya jika membeli tiket konser dengan nomor tempat duduk, tetapi tidak mendapatkan tempat duduk saat acara berlangsung?

Beberapa saat lalu, Indonesia digemparkan dengan kedatangan band/grup musik internasional Coldplay, yang akhirnya berhasil tampil di Jakarta dalam tur dunianya yang bernama Music of the Spheres. Pelbagai macam aspek pun diuntungkan dengan kedatangan Coldplay, tidak hanya para fans, tetapi juga dari segi ekonomi, khususnya bagi promotor. Akan tetapi, konser Coldplay tidak lepas dari berbagai macam permasalahan yang dialami oleh penonton, seperti sebagian penonton yang memiliki tiket dengan seat number atau nomor kursi, tetapi tidak mendapatkan kursi saat konser berlangsung karena kursi mereka telah diisi oleh orang lain. Atas situasi tersebut, tidak sedikit dari mereka yang telah membeli tiket menonton di tempat yang tidak sesuai dengan tiket yang telah dibeli atau tidak dapat masuk ke venue sama sekali. Para penonton pun menuntut tanggung jawab atas kemalangan yang mereka alami, mengingat harga tiket konsernya dibanderol dengan harga yang tinggi. Lantas, bagaimana dasar hukumnya  jika membeli tiket konser dengan nomor tempat duduk, tetapi tidak mendapatkan tempat duduk saat acara berlangsung? Mari kita simak jawabannya.

Pada umumnya, konser diselenggarakan oleh Promotor. Walaupun tidak ada definisi hukum terkait promotor, tetapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Promotor adalah orang yang menjadi penganjur atau pendorong suatu usaha (gerakan dan sebagainya) atau orang yang bertanggung jawab atas keuangan suatu pertandingan olahraga, termasuk mencari dana, mengadakan kontrak, dan sebagainya. Promotor bisa dalam bentuk perorangan atau juga badan hukum. Dalam hal menyelenggarakan konser dan menjual tiket konser, Promotor merupakan Pelaku Usaha, yang menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”), didefinisikan sebagai  setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Sementara itu, pembeli tiket konser merupakan konsumen, yang menurut Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen, didefinisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Menurut Pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen, Konsumen berhak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Dalam hal tiket yang dijual oleh promotor sudah mencakup seat number atau nomor kursi, seharusnya dapat diartikan bahwa penonton sudah mendapatkan kepastian untuk mendapatkan kursi sesuai dengan nomor kursi yang telah ditentukan. Selain itu, Pasal 4 huruf c UU Perlindungan Konsumen juga menegaskan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Penonton yang memiliki tiket dengan nomor kursi tetapi tidak bisa mendapatkan kursi saat konser berlangsung juga berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Kondisi yang dialami penonton telah mengindikasikan bahwa barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen.

Jalur hukum yang dapat ditempuh oleh para penonton yang mengalami kendala mendapatkan kursi meskipun telah memiliki tiket yang sesuai adalah mengajukan pengaduan tertulis kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”) atau mengajukan gugatan ke Peradilan Umum.

BPSK merupakan forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BPSK akan melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.[1] Penyelesaian ini dilakukan untuk menindaklanjuti pengaduan tertulis atau tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan oleh Majelis dan putusannya bersifat final dan mengikat.[2] Selain itu, Pelaku Usaha juga wajib untuk melaksanakan putusan tersebut dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.[3] Terhadap putusan BPSK tersebut, para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut dan Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu tersebut dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.[4]

Selain forum penyelesaian di luar pengadilan, konsumen yang dirugikan juga dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Umum. Jika ada sekelompok konsumen yang mendapatkan kerugian yang sama, maka gugatan dapat diajukan secara kolektif atau berkelompok melalui gugatan class action.[5] Gugatan yang dapat diajukan konsumen adalah gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum atau wanprestasi.

Demikian informasi dari kami, semoga bermanfaat. Terima kasih.



[1] Pasal 52 huruf a UU Perlindungan Konsumen.

[2] Pasal 52 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen

[3] Pasal 56 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen

[4] Pasal 56 ayat (2) dan (3) UU Perlindungan Konsumen

[5] Pasal 46 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen.

 

 


Share this article