Share this article

  • Jika Penggugat tidak mempunyai kedudukan atau kualifikasi untuk menggugat, apakah pemeriksaan gugatan perlu dilanjutkan hingga pokok perkara?
  • Jika persoalan yang sama sedang pula diperiksa oleh Pengadilan Negeri yang lain atau masih dalam taraf Banding atau Kasasi, apakah pemeriksaan gugatan perlu dilanjutkan hingga pokok perkara?
  • Jika perkara yang diajukan Penggugat sudah pernah diputuskan oleh pengadilan, apakah pemeriksaan gugatan perlu dilanjutkan hingga pokok perkara?

Pasal 136 HIR menetapkan bahwa kecuali eksepsi mengenai ketidakberwenangan hakim, eksepsi lain tidak boleh diajukan dan dipertimbangkan sendiri-sendiri melainkan diperiksa dan diputus bersama-sama pokok perkara. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, tulisan ini akan menganalisis beberapa pertanyaan di bawah ini:

  1. Apa yang menjadi latar belakang serta maksud dan tujuan pembuatan Pasal 136 HIR?
  2. Bagaimana interpretasi para ahli hukum mengenai Pasal 136 HIR?
  3. Bagaimana implementasi atau penerapan Pasal 136 HIR dalam praktek peradilan di Indonesia?
  4. Dengan adanya Pasal 136 HIR, apakah tergugat memiliki alasan yang cukup untuk mengajukan eksepsi dan meminta hakim untuk mengeluarkan putusan yang menghentikan perkara sebelum pokok perkara diperiksa?
  5.  Jenis eksepsi apa, selain eksepsi mengenai ketidakberwenangan hakim, yang dapat diajukan oleh tergugat dengan maksud agar hakim mengeluarkan putusan yang menghentikan perkara sebelum pokok perkara diperiksa?

Di bawah ini adalah penjelasannya.

1. Apa yang menjadi latar belakang serta maksud dan tujuan pembuatan Pasal 136 HIR?

Uraian mengenai latar belakang serta maksud dan tujuan pembuatan Pasal 136 HIR, antara lain  dapat dilihat pada:

a. Pendapat Prof. Dr. R. Supomo, S.H. dalam bukunya berjudul Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Penerbit Pradnya Paramita Jakarta, Cetakan ke 14, Tahun 2000, halaman 50 yang menyatakan:

“Menurut Mr. A.J. IMMINK, De regtspleging voor de inlandsche rechtbanken, dl. (1889), hal.53, pasal 136 Relemen Indonesia ini pada waktu dirancangkannya Reglemen tersebut, diusulkan oleh Hooggerechtshof di Jakarta dalam adviesnya, tanggal 21 Februari 1848. Pengadilan tertinggi itu berpendapat, bahwa untuk menyederhanakan acara di muka pengadilan Landraad, tergugat harus tidak diperbolehkan mempertahankan bantahan excepsi, melainkan segala excepsi harus bersama-sama diajukan dengan bantahan yang mengenai pokok perkara dan segala bantahan harus bersama-sama dengan sekaligus ditimbang dan diputus oleh hakim. Mr. WICHERS sebagai perancang Reglemen Indonesia menyetujui usul Hooggerechtshof, dengan mengecualikan excepsi tidak berkuasanya hakim. Maksud Hooggerchtshof ialah guna mencegah daya upaya dari pihak tergugat untuk memperpanjang proses dengan memaksa hakim untuk mengambil putusan atas tiap-tiap bantahan yang bersifat excepsi”

b. Pendapat Prof. DR. R. Wirjono Projodikoro S.H., dalam bukunya berjudul Hukum Acara Perdata di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung Tahun 1992 halaman 70 yang menyatakan:

“Pembentuk undang-undang dalam zaman Belanda dalam menyusun Pasal 136 HIR dan Pasal 162R.Bg. dan pasal yang serupa dari Reglement Burgerlijke Rechtsvordering yaitu pasal 114 yat 1, melaksanakan politik “concordantie” yaitu penyesuaian perundang-undangan Hindia Belanda di Eropa, dengan mencontoh kepada pasal 141 ayat 2 dari Kitab Hukum Acara Perdata di Negeri Belanda.”

Pasal 114 ayat 1 B.Rv., sama dengan pasal 141 ayat 2 di negeri Belanda, menyebutkan suatu sanctie (hukuman), apabila ketentuan dari pasal itu tidak diperhatikan oleh tergugat, yaitu bahwa kalau tergugat semula tidak sekaligus memajukan segala “exceptie”, maka kemudian tergugat tidak dapat mempergunakan “excepti”, yang belum diajukan, dan kalau tergugat semula hanya memajukan exceptie saja dengan tidak menyinggung hal pokok soal yang menjadi perkara (op de hoofdzaak, ten principale), maka ia kemudian, kalau “excepti”nya ditolak, permohonan gugat harus dikabulkan begitu saja dengan tidak perlu mendengarkan lagi suatu pembelaan tergugat terhadap pokok soal”.

“Sanctie atau hukuman seperti ini tidak termuat pada Pasal136 HIR dan Pasal 162 R.Bg. Ketiadaan sanctie ini menimbulkan keragu-raguan dalam melakukan peradilan oleh para Hakim.” 

c. Halaman 73 dalam buku Prof. DR. R. Wirjono Projodikoro tersebut di atas yang menyatakan:

“Dan juga oleh karena tidak disebut suatu sanctie atas pelanggaran Pasal 136 HIR dan Pasal 162 R.Bg. maka pasal 136 HIR dan pasal 162 RBg sebaiknya diartikan sebagai anjuran saja kepada tergugat supaya seberapa boleh mengumpulkan segala sesuatu yang ingin diajukannya dalam jawabannya, pada waktu ia mengadakan  perlawanan pada permulaan pemeriksaan perkara.”

Berdasarkan kutipan-kutipan pendapat para ahli tersebut di atas mengenai latar belakang serta maksud dan tujuan pembuatan Pasal 136 HIR, terungkap fakta-fakta sebagai berikut:

  1. Pasal 136 diusulkan oleh Hooggerechtshof di Jakarta dengan maksud untuk menyederhanakan acara persidangan di pengadilan negeri, sekaligus untuk mewujudkan peradilan yang efisiensi dengan cara mewajibkan tergugat untuk menyampaikan seluruh dalilnya baik eksepsi maupun jawaban dalam pokok perkara sekaligus pada awal persidangan agar seluruh dalil tergugat dapat diputus secara simultan oleh hakim;
  2. Selaku  perancang HIR, Mr. Wichers menyetujui usul Hooggerechtshof tersebut dengan mengecualikan eksepsi tidak berkuasanya hakim. Artinya terhadap eksepsi tidak berkuasanya hakim, boleh diajukan secara tersendiri atau tidak bersama-sama dengan eksepsi-eksepsi lainnya dan jawaban dalam pokok perkara;
  3. Konsep pembuatan Pasal 136 HIR diambil dari Pasal 114 ayat 1 B.Rv., sedangkan konsep pembuatan Pasal 114 ayat 1 B.Rv., diambil dari Pasal 141 ayat 2 Kitab Hukum Acara Perdata di Negeri Belanda yang menentukan:
    • Apabila tergugat tidak mengajukan seluruh eksepsi pada awal persidangan, maka tergugat akan menerima sanksi bahwa untuk persidangan selanjutnya tergugat tidak diperkenankan untuk mengemukakan eksepsi yang belum diajukannya;
    • Apabila tergugat hanya memajukan eksepsi tanpa menyinggung pokok perkara, maka jika eksepsinya ditolak, tergugat akan menerima sanksi berupa dikabulkannya gugatan penggugat untuk pokok perkara tanpa memberikan kesempatan kepada tergugat untuk menjawab gugatan dalam pokok perkara. 
  4. Pasal 136 HIR tidak mencantumkan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 141 ayat 2 Kitab Hukum Acara Perdata di Negeri Belanda.  Hal ini berarti:
    • apabila tergugat tidak mengajukan seluruh eksepsi pada awal persidangan, maka dalam persidangan selanjutnya tergugat masih diperkenankan untuk mengemukakan eksepsi yang belum diajukannya;
    • apabila tergugat hanya memajukan eksepsi tanpa menyinggung pokok perkara, maka jika eksepsinya ditolak, tergugat tidak akan menerima sanksi apapun, karena tergugat masih mempunyai kesempatan untuk menjawab gugatan dalam pokok perkara. 

2. Bagaimana interpretasi para ahli hukum mengenai Pasal 136 HIR?

Berdasarkan latar belakang serta maksud dan tujuan pembuatan Pasal 136 HIR sebagaimana dikemukakan di atas, para ahli hukum melakukan interpretasi terhadap Pasal 136 HIR sebagai berikut:

a. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S. H.:

Karena tidak ada sanksi atas pelanggaran terhadap  Pasal 136 HIR, maka sebaiknya Pasal 136 HIR hanya diartikan sebagai sebuah anjuran kepada tergugat agar sedapat mungkin mengajukan eksepsi dan jawaban dalam pokok perkara selengkap mungkin pada awal persidangan, dengan maksud agar proses peradilan dapat berjalan secara efisien, karena tidak dihalang-halangi oleh tergugat yang beritikad buruk untuk memperlambat jalannya proses persidangan. (Vide: Halaman 73, buku Prof. Wirjono Prodjodikoro tersebut di atas).

b. Prof. Dr. R. Supomo, S.H.:

Maksud Pasal 136 HIR ialah untuk menghindarkan keterlambatan yang tidak perlu, atau yang dibikin-bikin supaya proses berjalan lama. (Vide: Halaman halaman 51 buku Prof. Dr. R. Supomo, S.H. tersebut di atas);

c. Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H.,: dalam buku mereka yang berjudul Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju Bandung, Tahun 1997, halaman 41:

Maksud dari ketentuan Pasal 136 HIR adalah untuk menghindarkan keterlambatan yang tidak perlu, atau yang dibuat-buat agar proses berjalan cepat dan lancar;

3. Bagaimana implementasi atau penerapan Pasal 136 HIR dalam praktek peradilan di Indonesia?

Sehubungan dengan masalah penerapan atau implementasi Pasal 136 HIR, Mahkamah Agung R. I. telah membuat sebuah putusan yang patut dijadikan sebagai jurisprudensi tetap, yaitu Putusan Mahakamah Agung R.I. Reg. No. 22K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975 yang menguatkan putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang intinya memutuskan bahwa karena eksepsi yang diajukan  oleh Terbantah I dianggap benar, pemeriksaan tidak perlu diteruskan dengan memeriksa pokok perkara dan bantahan pembantah karena tidak jelas setidak-tidaknya kurang sempurna, harus dinyatakan tidak dapat diterima;

Menurut hemat penulis, dengan tidak melanjutkan pemeriksaan dalam pokok perkara, para hakim dalam perkara Reg. No. 22K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975 telah menjalankan peradilan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (efisiensi peradilan) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Terlebih dari itu, para hakim tersebut juga telah melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Ketentuan Pasal 27 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dipertegas lagi dengan penjelasannya yang menyatakan hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Sehubungan dengan itu, para hakim dalam perkara Reg. No. 22K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975 membuktikan bahwa diri mereka telah terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga mereka dapat menjadi “living interpretator” yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (mulut atau corong undang-undang);

Seandainya para hakim dalam perkara Reg. No. 22K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975 masih terbelenggu oleh kekakuan normatif prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan atau mereka masih berpendirian bahwa hakim adalah mulut atau corong undang-undang, tentunya mereka akan menolak eksepsi Terbantah (Tergugat) dalam perkara tersebut sekaligus melakukan pemeriksaan atas pokok perkara, dengan berdasarkan pada Pasal 136 HIR. Namun fakta membuktikan bahwa para hakim tersebut menerima eksepsi terbantah/tergugat sehingga pokok perkara tidak diperiksa. Putusan ini jelas-jelas merupakan manifestasi pelaksanaan prinsip-prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (efisiensi peradilan) sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di atas.

4. Mengingat ketentuan Pasal 136 HIR, apakah tergugat memiliki alasan yang cukup untuk mengajukan eksepsi dan meminta hakim untuk mengeluarkan putusan yang menghentikan perkara sebelum pokok perkara diperiksa?

Berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan sebelumnya, penulis berpendapat bahwa sepanjang gugatan tidak memenuhi persyaratan formil atau prosesuil, maka tergugat memiliki alasan yang cukup untuk mengajukan eksepsi dan meminta hakim untuk mengeluarkan putusan yang menghentikan perkara sebelum pokok perkara diperiksa.

5. Jenis eksepsi apa, selain eksepsi mengenai ketidakberwenangan hakim, yang dapat diajukan oleh tergugat agar hakim dapat mengeluarkan putusan yang menghentikan perkara sebelum pokok perkara diperiksa?

Berdasarkan kajian penulis terhadap sejumlah buku mengenai hukum acara perdata dapat disimpulkan bahwa jenis eksepsi yang dapat diajukan oleh tergugat agar hakim mengeluarkan putusan yang menghentikan perkara sebelum pokok perkara diperiksa antara lain sebagai berikut:

a. Eksepsi Diskualifikasi

Adapunpengertian dan pengelompokan Eksepsi Diskualifikasi dalam beberapa klasifikasi eksepsi menurut hukum acara perdata, antara lain dapat dilihat dalam berbagai buku karangan para ahli hukum sebagai berikut:

i. Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., dalam buku mereka tersebut di atas pada halaman 38 dan 39 yang menyatakan:

“Jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam, yakni :

1.   Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau eksepsi;

2.  Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweerten  principale)

Tentang tangkisan atau eksepsi, HIR hanya mengenal satu macam eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim. Sebagaimana di atas telah dikemukakan, eksepsi ini terdiri dari 2 macam, ialah eksepsi yang menyangkut kekuasaan absolut dan eksepsi yang menyangkut kekuasaan relatif. Kedua macam eksepsi ini termasuk eksepsi yang menyangkut acara, dalam hukum acara perdata disebut eksepsi prosesuil (procesueel).

Lain-lain eksepsi prosesuil adalah eksepsi bahwa persoalan yang sama telah pernah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, eksepsi bahwa persoalan yang sama sedang pula diperiksa oleh pengadilan negeri yang lain atau masih dalam taraf banding atau kasasi dan Eksepsi bahwa yang bersangkutan (Penggugat) tidak mempunyai kwalifikasi/sifat untuk bertindak.”

ii. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, Edisi Kelima, Cetakan Kedua, Tahun 1999, halaman 97 yang menyatakan:

“ Bantahan (verweer) pada hakekatnya bertujuan agar gugatan penggugat ditolak. Dan bantahan tergugat ini dapat terdiri dari tangkisan atau eksepsi dan sangkalan.

Apa yang dimaksudkan dengan tangkisan (exceptief verweer) dan sangkalan (verweer ten principale) tidak dijelaskan oleh undang-undang.

Pada umumnya yang diartikan dengan eksepsi ialah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan. Sedangkan yang dimaksud dengan sangkalan (verweer ten principale) adalah sanggahan yang berhubungan dengan pokok perkara.

Eksepsi prosesuil adalah upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan. Pernyataan tidak diterima berarti suatu penolakan in limine litis, berdasarkan alasan-alasan di luar pokok perkara.

Termasuk eksepsi prosesuil ialah tangkisan yang bersifat mengelakkan (eksepsi declinatoir) seperti eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, eksepsi bahwa gugatan batal, dan eksepsi bahwa perkara telah diputus serta Eksepsi bahwa pihak penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai penggugat (Eksepsi Disqualificatoir).

iii. Prof. Dr. R. Soepomo, S.H., dalam bukunya tersebut di atas pada halaman 48-52 yang menyatakan:

“Excepsi adalah bantahan yang menangkis tuntutan penggugat sedang pokok perkara tidak langsung disinggung. Misalnya bantahan yang mengatakan, bahwa hakim tidak berkuasa memeriksa gugat yang diajukan oleh penggugat (excetie van onbevoegdheid van den rechter”), bantahan yang mengatakan, bahwa perkara yang diajukan oleh penggugat itu telah diputus oleh hakim (exceptie van gewijsde  zaak), atau bantahan yang mengatakan bahwa Penggugat tidak mempunyai kedudukan untuk memajukan gugatannya (Disqualificatoire Exceptie).”

iv. Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., dalam bukunya tersebut di atas pada halaman 100 dan 101 menyatakan :

“Eksepsi tolak (declinatoir exceptie, declinatory exception) yaitu eksepsi yang bersifat menolak agar pemeriksaan perkara jangan diteruskan. Termasuk jenis ini adalah :

 a. Eksepsi tidak berwenang memeriksa gugatan;

b.  Eksepsi batalnya gugatan;

c.  Eksepsi perkara telah pernah diputus;

d. Eksepsi Penggugat tidak berhak mengajukan gugatan;

Eksepsi tolak disebut juga eksepsi formal (processuele) karena didasarkan pada ketentuan acara dalam Hukum Acara Perdata. Tergugat memberikan jawaban yang berupa eksepsi formal untuk menangkis agar pokok perkara tidak diperiksa karena bukan wewenang hakim atau karena tidak diperkenankan menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku.

v. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Penerbit Djambatan Tahun Cetakan kedua, (Edisi Revisi 2002) halaman 37 sampai dengan 140 yang menyatakan:

“Ditinjau dari aspek Hukum Acara Perdata pada prinsipnya eksepsi/tangkisan dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

(a). Eksepsi prosesuil (Procesueel) yaitu eksepsi atau tangkisan Tergugat/Para Tergugat atau Kuasanya yang hanya menyangkut dari segi acara.

Adapun macam-macam eksepsi prosesuil ini adalah :

 i.         Eksepsi deklinatoir (Declinatoire exceptie;  declinatory exeption).

ii.         Eksepsi Litispendentie.

iii.        Eksepsi inkracht van gewijsde zaak.

iv.        Eksepsi plurium litis consortium.

v.         Eksepsi Diskualifikator (Disqualificatoire Exceptie) yaitu eksepsi yang diajukan oleh Tergugat/Para Tergugat atau kuasanya kepada surat gugatan pihak Penggugat/Para Penggugat atau kuasanya dikarenakan mereka tidak mempunyai kualitas/kedudukan untuk mengajukan gugatannya.”

vi. H. Riduan Syahrani, S.H., dalam bukunya yang berjudul Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti Bandung, Tahun 2000, halaman 69 yang menyatakan :

“Jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu:
(1) Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut eksepsi (tangkisan); dan
(2) Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara.

Eksepsi prosesuil adalah eksepsi yang didasarkan pada Hukum Acara Perdata. Termasuk dalam eksepsi ini misalnya eksepsi yang menyatakan hakim tidak berwenang memeriksa gugatan yang diajukan penggugat; eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang diajukan penggugat sudah pernah diputuskan oleh hakim; kemudian Eksepsi yang menyatakan bahwa Penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai Penggugat (Eksepsi Diskualifikasi).”

Berdasarkan klasifikasi eksepsi menurut hukum acara perdata sebagaimana dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Eksepsi Diskualifikasi adalah salah satu jenis atau bentuk dari eksepsi prosesuil dan/atau eksepsi formil, yaitu eksepsi yang bersifat penolakan agar persidangan tidak diteruskan hingga pemeriksaan pokok perkara, dengan berdasarkan pada alasan-alasan di luar pokok perkara.

b. Eksepsi Litispendentie

Adapun pengertian dan pengelompokan Eksepsi Litispendentie dalam beberapa klasifikasi eksepsi menurut hukum acara perdata, antara lain dapat dilihat dalam berbagai buku karangan para ahli hukum sebagai berikut:

i. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Penerbit Djambatan Tahun Cetakan kedua, (Edisi Revisi 2002) halaman 137 sampai dengan halaman 139 yangmenyatakan:

“Ditinjau dari aspek Hukum Acara Perdata pada prinsipnya eksepsi/tangkisan dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

  • Eksepsi prosesuil (Procesueel) yaitu eksepsi atau tangkisan Tergugat/Para Tergugat atau Kuasanya yang hanya menyangkut dari segi acara.

Adapun macam-macam eksepsi prosesuil ini adalah :

a. Eksepsi deklinator (Declinatoire exceptie; declinatory exception).

b. Eksepsi Litispendentie yaitu eksepsi dari Tergugat/Para Tergugat atau kuasanya menyangkut perkara yang diajukan oleh Penggugat/Para Penggugat atau kuasanya telah pernah diperkarakan dan sampai kini masih tergantung/belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena dalam pemeriksaan banding/revisi atau kasasi/Cassatie, dan sebagainya

c. Eksepsi inkracht van gewijsde zaak.”

ii. Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., dalam buku mereka yang berjudul “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek”, Penerbit Mandar Maju Bandung, Tahun 1997, halaman 38 dan 39juga menulis tentang Eksepsi Litipendentie, dengan menyatakan:

“Lain-lain eksepsi prosesuil adalah eksepsi bahwa persoalan yang sama telah pernah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Eksepsi bahwa persoalan yang sama sedang pula diperiksa oleh Pengadilan Negeri yang lain atau masih dalam taraf Banding atau Kasasi (Eksepsi Litispendentie)….

iii. Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Penerbit Citra Aditya Bandung, Tahun 2000, halaman 100 dan 101 yangmenyatakan:

“Eksepsi tolak (declinatoir exceptie, declinatory exception) yaitu eksepsi yang bersifat menolak agar pemeriksaan perkara jangan diteruskan. Eksepsi tolak disebut juga eksepsi formal (processuele) karena didasarkan pada ketentuan acara dalam Hukum Acara Perdata. Tergugat memberikan Jawaban yang berupa eksepsi formal untuk menangkis agar pokok perkara tidak diperiksa karena bukan wewenang hakim atau karena tidak diperkenankan menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku.”

Berdasarkan klasifikasi eksepsi menurut hukum acara perdata sebagaimana dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Eksepsi Litispendentie adalah salah satu jenis atau bentuk dari eksepsi prosesuil dan/atau eksepsi formil, yaitu eksepsi yang bersifat penolakan agar persidangan tidak diteruskan hingga pemeriksaan pokok perkara, dengan berdasarkan pada alasan-alasan di luar pokok perkara; yang merupakan alasan prosedural.

c. Eksepsi bahwa para pihak dan obyek sengketa dalam gugatan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak exceptie)

Adapunpengertian dan pengelompokan Eksepsi inkracht van gewijsde zaak dalam beberapa klasifikasi eksepsi menurut hukum acara perdata, antara lain dapat dilihat dalam berbagai buku karangan para ahli hukum sebagai berikut:

i. Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., dalam buku mereka yang berjudul Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju Bandung, Tahun 1997, halaman 38 dan 39 yang membahas hal sebagai berikut:

“Lain-lain eksepsi prosesuil adalah Eksepsi bahwa persoalan yang sama telah pernah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, eksepsi bahwa persoalan yang sama sedang pula diperiksa oleh pengadilan negeri yang lain atau masih dalam taraf banding atau kasasi dan eksepsi bahwa yang bersangkutan (penggugat) tidak mempunyai kwalifikasi/sifat untuk bertindak.”

ii. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, Edisi Kelima, Cetakan Kedua, Tahun 1999, halaman 97yang menyimpulkan hal yang sama sebagai berikut:

“Termasuk eksepsi prosesuil ialah tangkisan yang bersifat mengelakkan (eksepsi declinatoir) … dan Eksepsi bahwa perkara telah diputus ….”.

iii. Prof. Dr. R. Soepomo, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Penerbit Pradnya Paramita Jakarta, Cetakan ke 14, Tahun 2000, halaman 48-49yang menyatakan:

“Excepsi adalah bantahan yang menangkis tuntutan penggugat sedang pokok perkara tidak langsung disinggung. Misalnya …. Bantahan yang mengatakan bahwa perkara yang diajukan oleh Penggugat itu telah diputus oleh hakim (Exceptie Van Gewijsde Zaak).

iv. Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bandung, Tahun 2000, halaman 100 dan 101 yangmenyatakan :

“Eksepsi tolak (Declinatoir Exceptie, Declinatory Exception) yaitu eksepsi yang bersifat menolak agar pemeriksaan perkara jangan diteruskan. Termasuk jenis ini adalah :

a. Eksepsi tidak berwenang memeriksa gugatan;

b. Eksepsi batalnya gugatan;

c. Eksepsi perkara telah pernah diputus;

d. Eksepsi penggugat tidak berhak mengajukan  gugatan;

v. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Penerbit Djambatan Tahun Cetakan kedua, (Edisi Revisi 2002) halaman 137 sampai dengan 140 yang menyatakan:

“Ditinjau dari aspek Hukum Acara Perdata pada prinsipnya eksepsi/tangkisan dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

Eksepsi prosesuil (Procesueel) yaitu eksepsi atau tangkisan Tergugat/Para Tergugat atau Kuasanya yang hanya menyangkut dari segi acara.

Adapun macam-macam eksepsi prosesuil ini adalah :

i.           Eksepsi deklinatoir (Declinatoire exceptie;     declinatory exeption).

ii.          Eksepsi Litispendentie.

iii.         Eksepsi Inkracht Van Gewijsde Zaak.

iv.         Eksepsi plurium litis consortium.

v.          Eksepsi diskualifikatoir (disqualificatoire exeptie) yaitu.”

vi. H. Riduan Syahrani, S.H., dalam bukunya yang berjudul Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti Bandung, Tahun 2000, halaman 69yang menyatakan :

“Eksepsi prosesuil adalah eksepsi yang didasarkan pada Hukum Acara Perdata. Termasuk dalam eksepsi ini misalnya …. Eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang diajukan Penggugat sudah pernah diputuskan oleh hakim .”

Berdasarkan klasifikasi eksepsi menurut hukum acara perdata sebagaimana dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Eksepsi perkara telah/pernah diputus (exceptie inkracht van gewijsde zaak) adalah salah satu jenis atau bentuk dari eksepsi prosesuil dan/atau eksepsi formil, yaitu eksepsi yang bersifat penolakan agar persidangan tidak diteruskan hingga pemeriksaan pokok perkara, dengan berdasarkan pada alasan-alasan di luar pokok perkara.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J. PINAKUNARY LAW OFFICES



Share this article