Oleh: Fredrik J. Pinakunary
Partner Kantor Hukum Fredrik J Pinakunary Law Offices
Freedom is never voluntarily given by the oppressor, it must be demanded by the oppressed (Marthin Luther King Jr). Ungkapan ini rasanya tepat mewakili “perjuangan” banyak orang yang bersuara membatalkan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Alih-alih memberikan perlindungan dan menciptakan ketahanan keluarga yang berkualitas, RUU tersebut justru berpotensi menghancurkan sendi kehidupan keluarga. Bagaimana tidak, hal-hal yang bersifat privat diterobos masuk tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan landasan akuntabilitasnya. Jika RUU tersebut berlaku, jangan kaget ketika nanti ada suami yang melaporkan istrinya kepada aparat penegak hukum dengan alasan sang istri tidak melakukan kewajibannya untuk memenuhi hak suami (nafkah batin) sesuai norma agama. Juga jangan heran ketika ada istri yang mengadukan suami dengan alasan tidak bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga (Pasal 25).
Prasangka Buruk
A negative mind will never give you a positive life (Joice Meyer). Rasanya tak berlebihan jika dikatakan bahwa pengaturan tentang hak dan kewajiban suami dan istri dalam RUU tersebut berangkat dari prasangka buruk bahwa suami istri di negara ini adalah pribadi yang kurang bertanggung jawab dalam mengemban peran mereka dalam keluarga. Kalau faktanya masih ada yang belum sesuai harapan, bukan berarti mereka sudah sedemikian buruk sehingga urusan privatnya diintervensi Negara; bukan berarti negara memiliki hak untuk mengatur hingga “masuk” ke kamar tidur yang adalah ranah privat masing-masing individu yang wajib dihormati negara.
Bukankah urusan hak dan kewajiban anggota keluarga sudah diatur
dalam kitab suci masing-masing agama? Salah
satu kitab suci mengajarkan kepada isteri untuk
tunduk kepada suaminya seperti
kepada Tuhan karena suami adalah kepala dalam rumah tangga sama seperti Tuhan
adalah kepala jemaat. Karena itu,
sebagaimana jemaat tunduk kepada Tuhan, demikian jugalah isteri kepada suami dalam
segala sesuatu. Suami diajarkan untuk mengasihi istrinya sama
seperti tubuhnya sendiri. Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya
sendiri sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya
dan merawatinya, sama seperti Tuhan terhadap manusia. Penjelasan tentang hal ini tidak
kurang-kurangnya dibagikan di rumah-rumah ibadah. Apakah para politisi merasa
lebih paham tentang hal privat dalam kehidupan umat dibandingkan kitab suci
yang diwahyukan kepada para alim ulama yang mencerahkan umat dengan kebenaran? Jika
nantinya hak dan kewajiban suami istri
dipaksakan diatur dalam UU, versi agama apa yang akan dipergunakan? Bagaimana
jika versi Undang-Undang bertentangan, tidak sesuai dengan ajaran salah satu
agama dan kepercayaan yang sah? Apakah Negara memiliki alas hak untuk mengadili
seseorang yang telah bertindak sesuai ajaran agamanya tapi tidak sesuai dengan
UU?
Melahirkan “Polisi” Moral
Dalam Pasal 86-87, pelaku penyimpangan seksual termasuk LGBT wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan. Sulit untuk berpikir bahwa kaum LGBT akan dengan sukarela melaporkan diri ke lembaga tersebut karena dalam benak mereka, mereka bukanlah orang sakit yang perlu dirawat. Bagi para politisi yang mengusulkan RUU ini, ketahuilah bahwa eksistensi mereka sebagai LGBT tidak tepat untuk dilawan dengan Undang-Undang. Don’t curse the darkness but light a candle. Jangan mengutuk dan memperlakukan mereka sebagai penjahat. Sentuhlah hati dan jiwa mereka dengan kasih dan kebenaran yang memerdekakan dan menggiring mereka ke jalan yang benar. Pendekatan yang diambil dalam RUU tersebut tidak tepat, malah berpotensi melahirkan “polisi moral” yang merasa berhak melakukan “penegakkan hukum” dengan cara sendiri yang, bisa jadi, anarkis dan hal itu dilakukan dengan dalih menegakkan UU.
Salah Konsep
Menciptakan ketahanan keluarga yang berkualitas tidak bisa dibangun di atas konsep dan regulasi do and don’t (harus ini, harus itu, jangan ini, jangan itu) karena setiap manusia memiliki kehendak bebas untuk melakukan hal baik maupun buruk. Keluarga yang berkualitas hanya dapat dibangun dari hubungan dan persekutuan yang intim antara masing-masing individu dengan sang pencipta. Keintiman dengan Tuhan akan melahirkan spirit of wisdom yang memampukan setiap insan manusia mempergunakan kehendak bebasnya dengan benar yang bukan hanya selaras dengan standar moral ciptaan manusia namun terlebih dari itu sesuai dengan nilai kebenaran hakiki dari Tuhan. Spirit of wisdom berdiam (dwell) dalam hati setiap orang yang memiliki hubungan dan persekutuan yang erat dengan Tuhan dan spirit itulah yang membimbing masing-masing individu menjadi suami, istri, anak yang berakhlak mulia dan sanggup melaksanakan ketentuan dalam draft RUU tersebut tanpa harus memberlakukannya. Akhir kata, biarlah segala hal yang berkaitan dengan privacy dan akhlak menjadi domain ajaran agama dan kepercayaan, jangan diambil alih negara.