Share this article

Masyarakat mengalami kepanikan setelah Presiden pada tanggal 2 Maret 2020 mengumumkan dua Warga Negara Indonesia terinfeksi virus corona. Setelah pengumuman tersebut, banyak orang “memburu” obat-obatan, antiseptik dan masker di apotek. Selain itu, kebutuhan pokok seperti beras dan mie instan juga diborong dalam jumlah yang berlebihan di pusat perbelanjaan. Sepertinya kekuatiran akan kehabisan kebutuhan pokok-lah yang melatarbelakangi pembelian barang dalam jumlah besar, tapi perlu disadari bahwa membeli barang secara berlebihan dapat mengakibatkan kelangkaan dan kondisi ini dapat memicu pelaku usaha untuk “memanfaatkan” situasi dengan menimbun barang dengan tujuan dijual kembali dengan harga tinggi demi laba yang besar. Hal ini tentunya merugikan masyarakat dan berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian dan keamanan Negara. Untuk itu, Pemerintah akan menurunkan anggota kepolisian agar menjaga pusat perbelanjaan untuk mengantisipasi kepanikan masyarakat.

Sanksi Hukum Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“ UU Perdagangan”)

Berdasarkan Pasal 29 ayat 1 UU Perdagangan, Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang. Selanjutnya dalam Pasal 107 ditentukan: Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Sanksi Hukum Yang Diatur Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan tentang Pangan (“ UU Pangan”)

Pasal 53 UU Pangan menyatakan bahwa Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. Selanjutnya, Pasal 54 (1) Pelaku Usaha Pangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; dan/atau c. pencabutan izin.

Adapun mengenai sanksi pidana, Pasal 133 UU Pangan menyatakan bahwa Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Perbedaan Penerapan Sanksi Pidana

Sekilas terlihat bahwa kedua Undang-Undang tersebut  mengatur hal yang sama namun berbeda dalam sanksinya, tetapi jika dicermati, terlihat perbedaan sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Sanksi berdasarkan Pasal 107 UU Perdagangan dijatuhkan kepada  Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang. Disini tidak ada maksud atau niat atau kesengajaan untuk memperoleh keuntungan dari perbuatan tersebut. Lalu mengapa sanksi yang diatur dalam  UU Perdagangan lebih ringan dari sanksi dalam UU Pangan? Jawabannya: karena sanksi yang diatur dalam Pasal 133 UU Pangan ditujukan kepada pelaku usaha yang menimbun/menyimpan barang dengan maksud atau niat atau kesengajaan untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, ada atau tidak adanya maksud atau niat atau kesengajaan itulah yang membedakan sanksi yang akan dikenakan terhadap pelaku usaha tersebut.

Teori Hukum Mengenai Kesengajaan

Guru Besar Hukum Pidana Prof. Mr. Moeljatno [1] dengan mencatat pendapat sejumlah ahli hukum pidana Belanda,  membahas tentang pengertian dari kesengajaan”. Menurut Moeljatno, tidak ada keterangan dalam KUHP Indonesia tentang “kesengajaan”. Lain halnya dengan KUHP Swiss yang dalam Pasal 18 menyatakan: “Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”. Definisi seperti itu dimuat dalam Memori van Toelichting Swb. Ada juga yang berbunyi: “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui.”

Berdasarkan uraian di atas, jika pelaku usaha dituduh berdasarkan Pasal 133 UU Pangan karena diduga keras memiliki maksud atau niat atau kesengajaan untuk memperoleh keuntungan dari penimbunan barang, maka pertanyaan hukum yang perlu dibahas adalah: apakah pelaku usaha tersebut menghendaki dan mengetahui bahwa tindakannya tersebut akan atau dapat membawa keuntungan baginya?

Mengenai hal ini, menurut teori hukum terdapat 2 (dua) aliran, yaitu :

  1. Teori Kehendak (wilstheorie) yakni teori yang paling tua dan manakala muncul teori yang lain yang baru, teori ini  mendapat pembelaan kuat dari Von Hippel, Guru Besar Hukum Pidana di Gottingen, Jerman, sementara di Belanda antara lain dianut oleh Simons.
  2. Teori Pengetahuan (voorstellingstheorie) yang kira-kira pada tahun 1910 diajarkan oleh Frank, Guru Besar di Tubingen, Jerman dan mendapat dukungan dari Von Listz, sementara di Negeri Belanda penganutnya antara lain adalah Van Hamel.

Menurut Teori Kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan di dalam Undang-Undang. Sedangkan menurut Teori Pengetahuan, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui adanya unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan Undang-Undang. Menyangkut kedua teori tersebut, Prof. Mr. Moeljatno berpendapat bahwa Teori Pengetahuan lebih memuaskan karena di dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk  menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tetapi sebaliknya, apa yang diketahui seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya. Lagi pula menurut Moeljatno lebih lanjut, kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (apa yang mendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan. Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan dikehendaki oleh seseorang terdakwa, harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai. Antara motif, perbuatan dan tujuan, harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku usaha yang menimbun atau menyimpan barang memiliki maksud atau niat atau kesengajaan untuk menjual kembali dengan harga yang tinggi maka disitu ada motif dan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara tidak wajar dari situasi dan kondisi kelangkaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa penimbunan itu dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, tepatlah jika diajukan tuduhan terhadap pelaku usaha tersebut berdasarkan Pasal 133 UU Pangan dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Semoga Bermanfaat

Fredrik J. Pinakunary


[1]  Prof. Mr. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bagian 3, Penerbit Seksi Hukum Pidana FH-UGM, 1970.


Share this article