Share this article

Pembatalan perjanjian bertujuan untuk menjadikan kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian tersebut diadakan. Jika suatu pihak telah menerima sesuatu (prestasi) dari pihak lainnya, baik uang ataupun barang, maka uang atau barang tersebut harus dikembalikan akibat dari batalnya perjanjian. Pembatalan sepihak atas suatu perjanjian dapat diartikan sebagai ketidaksediaan salah satu pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian.

Seperti diketahui bahwa perjanjian yang sah, dalam arti memenuhi syarat sah yang dikehendaki berdasarkan Undang-undang, dan oleh karenanya perjanjian tersebut selayaknya berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan menyepakatinya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 1338 (1) KUHPerdata. Syarat sah perjanjian sebagaimana disinggung di atas dijelaskan pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat pejanjian;
  3. suatu hal tertentu; dan
  4. suatu sebab yang halal.

Sedangkan pada ayat 1338 (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa:

“persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata tersebut, jelas bahwa perjanjian itu tidak dapat dibatalkan sepihak, karena jika perjanjian tersebut dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian tersebut tak mengikat diantara orang-orang yang membuatnya. Jika dilihat dari Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata, maka jelas diatur mengenai syarat batal jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Pembatalan tersebut harus dimintakan ke pengadilan, hal ini dimaksudkan agar nantinya tidak ada para pihak yang dapat membatalkan perjanjian sepihak dengan alasan salah satu pihak lainnya tersebut tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi).

Ada beberapa teori hukum yang terkait dengan pembatalan perjanjian secara sepihak, yaitu repudiasi terhadap perjanjian. Repudiasi (repudiation, anticipatory) adalah pernyataan mengenai ketidaksediaan atau ketidak mampuan untuk melaksanakan perjanjian yang sebelumnya telah disetujui, pernyataan mana disampaikan sebelum tiba waktu melaksanakan perjanjian tersebut. Repudiasi dalam pengertian itu disebut repudiasi anticipatory yang berbeda dengan repudiasi biasa (ordinary) yaitu pembatalan yang dinyatakan ketika telah masuk masa pelaksanaan perjanjian.

Ahli hukum Indonesia Munir Fuady dalam bukunya “Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis” menuturkan bahwa konsekuensi yuridis dari adanya repudiasi atas suatu kontrak adalah dapat menunda atau bahkan membebaskan pihak lain dari kewajiban melaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut; dan di sisi lain memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat segera menuntut ganti rugi, sungguhpun kepada pihak yang melakukan repudiasi belum jatuh tempo untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian.

Lebih lanjut Munir Fuady menambahkan bahwa tindakan repudiasi atas suatu perjanjian dapat diwujudkan dengan dua cara berikut:

1) Repudiasi secara tegas

Yakni pihak yang menyatakan repudiasi menyatakan kehendaknya dengan tegas bahwa dia tidak ingin melakukan kewajibannya (prestasi) yang lahir atas perjanjian.

2) Repudiasi secara inklusif

Di samping secara tegas, repudiasi dapat juga dilakukan secara inklusif. Maksudnya dari fakta-fakta yang ada dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu pihak telah tidak akan melakukan kewajibannya yang lahir berdasarkan perjanjian.

Kriteria utama adanya repudiasi inklusif yakni pihak yang melakukan repudiasi menunjukkan tindakan atau maksudnya secara logis dan jelas (reasonably clear) bahwa dia tidak akan melaksanakan kewajibannya.

Dalam buku “The Law Of Contract Seventh Edition” dijelaskan bahwa “Repudiation dalam hukum dan perspektif anglo saxon terjadi manakala suatu pihak mengisyaratkan dengan kata-kata (tesgas) atau perbuatan (inklusif) bahwa ia tidak berkeinginan lagi untuk menghormati atau melaksanakan kewajibannya pada saat kewajiban tersebut harus dipenuhi di waktu kemudian berdasarkan perjanjian yang mengikat dirinya. Berikut adalah pendapat dari Lord Blackburn yang dikutip dari buku “The Law Of Contract Seventh Edition”:

“Bila terdapat suatu kontrak untuk dilaksanakan di kemudian hari, jika salah satu pihak telah mengatakan kepada pihak lainnya yang berarti “jika kamu meneruskan dan melaksanakan bagian kontrakmu, saya tidak akan melaksanakan bagian saya”, yang sama artinya dengan “Saya tidak akan melaksanakan kontrak”. Dalam keadaan demikian, pihak lainnya dapat mengatakan, “kamu sudah memberi saya pemberitahuan khusus bahwa kamu tidak akan melaksanakan kontrak. Saya tidak akan menunggu sampai cedera janjimu itu terjadi, tetapi aku akan menganggapmu telah mengakhiri kontrak, dan jika perlu aku akan menuntutmu atas kerugian yang terjadi, tetapi bagaimanapun saya tidak akan meneruskan kontrak.”

Repudiation bisa dinyatakan secara tersurat ataupun tersirat. Contoh yang tersurat adalah seperti pada kasus Hochster melawan De la Tour, di mana tergugat pada bulan April telah setuju untuk mempekerjakan penggugat sebagai kurirnya selama perjalanan luar negeri yang dimulai sejak tanggak 1 Juni. Pada tanggal 11 Mei ia menulis surat bahwa ia telah berubah pikiran dan karenanya tidak memerlukan seorang kurir. Penggugat mengajukan gugatan ganti kerugian sebelum 1 Juni dan gugatan tersebut dikabulkan.

Suatu repudiasi bersifat tersirat ketika kesimpulan yang wajar dapat ditarik dari perilaku tergugat bahwa ia tidak lagi mempunyai maksud untuk melaksanakan bagian kontraknya. Maka, jika seseorang berjanji untuk menjual dan mengirimkan barang-barang khusus pada suatu hari di waktu yang akan datang, dan sebelum tiba hari tersebut ia menjual dan mengirimkannya kepada orang lain, ia segera terancam gugatan dari orang yang telah dijanjikannya pertama kali tersebut. Maka demikian juga, jika A menyerahkan sebuah rumah kepada C yang sebelumnya telah dijanjikannya untuk diserahkan kepada B, A akan dianggap telah melalaikan kontrak. Contoh kasus seperti ini adalah perkara Frost melawan Knight di mana tergugat, yang telah setuju akan menikahi penggugat pada saat ayah penggugat telah meninggal, melepaskan pertunangannya tersebut ketika ayah penggugat masih hidup. Penggugat segera menuntut ganti rugi dan berhasil. Keadaan khusus seperti ini tidak dapat lagi terjadi, karena gugatan atas cedera janji pernikahan kini telah dihapuskan, tetapi prinsip-prinsip yang dimuat dalam kasus Frost melawan Knight masih diterapkan.

Sebagai akibat dari suatu repudiation, baik tersurat maupun tersirat, adalah pihak yang tidak bersalah segera mempunyai alas hak untuk menuntut. Tetapi ia tidak harus segera melakukan tuntutan dan bisa berdiam diri sembari menunggu sampai tiba hari pelaksanaan perjanjian tersebut lalu mengajukan gugatan karena adanya wanprestasi.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J. PINAKUNARY LAW OFFICES


Share this article