Share this article

Pada mulanya definisi delik korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Selanjutnya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan:

“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.”

Selain ketentuan di atas, definisi delik korupsi pada mulanya juga diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor yang menyatakan:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Adapun Penjelasan Pasal 3 UU Tipikor menyatakan:

Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2.

Uraian mengenai perubahan definisi dan atau sifat tindak pidana korupsi setelah dikeluarkannya Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang dibacakan pada tanggal 25 Januari 2017, maka definisi delik korupsi yang terdapat dalam UU Tipikor telah berubah menjadi sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dengan menghilangkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor maka definisi dan atau sifat delik korupsi menjadi berubah dari yang semula bersifat delik formil, kemudian menjadi delik materiil. Dalam delik formil, setiap perbuatan yang berpotensi atau dapat mengakibatkan kerugian Negara sudah dapat dijatuhi hukuman tanpa perlu membuktikan apakah negara mengalami kerugian atau tidak. Sebaliknya dalam delik materiil harus dibuktikan tentang adanya akibat berupa kerugian Negara barulah delik tersebut dapat dikatakan telah terpenuhi. Jika kerugian Negara tidak dapat dibuktikan maka delik tersebut tidak terpenuhi.

Disamping itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang dibacakan pada tanggal 25 Juli 2006 dapat dilihat bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang frase “Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan menghapus frasa tersebut di atas maka pengertian makna ‘melawan hukum’ (wederrechtelijk) yang terdapat rumusan delik Pasal 2 (1) UU Tipikor menjadi terbatas kepada hukum formil saja.

  Pasal 3 UU Tipikor:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dengan menghilangkan kata “dapat” dalam Pasal 3 UU Tipikor maka definisi dan atau sifat delik korupsi menjadi berubah dari yang semula bersifat delik formil, kemudian menjadi delik materiil sebagaimana yang terjadi pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Uraian mengenai perbedaan delikformil dan delik materiil

Dalam delik formil yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Pada pencurian, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur dalam pasal 362 KUHP, tindak pidana sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi apakah orang yang kecurian itu merasa rugi atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau tidak. Artinya delik ini tidak mempersoalkan ada atau tidak adanya akibat dari tindakan pencurian tersebut. Sebelum Mahkamah Konstitusi mengeluarkan kedua Putusan tersebut, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor adalah delik formil karena terkait delik korupsi, sepanjang sudah terpenuhi unsur-unsur delik korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor maka delik tersebut sudah terjadi tanpa perlu mempertanyakan atau membuktikan apakah Negara mengalami kerugian keuangan atau tidak. Namun setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan kedua Putusan tersebut maka Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah berubah menjadi delik materiil.

Dalam delik materiil selain dari tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya. Misalnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, harus timbul akibatnya yang berupa kematian sang korban. Artinya delik ini mempersoalkan ada atau tidak adanya akibat dari tindakan pembunuhan tersebut. Dalam contoh tersebut, jika tidak ada kematian maka delik pembunuhan tidak terpenuhi. Setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan kedua Putusan tersebut, terkait delik korupsi, apabila unsur-unsur delik korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sudah terpenuhi maka delik korupsi belum dapat dikatakan sudah terjadi karena harus dibuktikan dulu mengenai kerugian keuangan negara. Kalau kerugian keuangan Negara dapat dibuktikan barulah delik korupsi itu dapat dikatakan sudah terjadi, dan sebaliknya kalau kerugian keuangan Negara tidak dapat dibuktikan maka delik korupsi tidak dapat dikatakan sudah terjadi.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J. PINAKUNARY LAW OFFICES

Temui dan Ikuti kami juga di media sosial kami
LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp


Share this article