Share this article

Seorang Advokat dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik. Selain itu, Advokat memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Dengan demikian, profesi Advokat disebut sebagai profesi yang mulia (Officium Nobile). Selain dicap sebagai profesi yang mulia, yang lebih istimewanya lagi, Advokat juga diberikan hak imunitas berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”). Lantas, sejauh mana hak imunitas tersebut dapat “dinikmati” oleh seorang Advokat? Simak ulasannya.

Pasal 15 UU Advokat menjelaskan terkait hak imunitas Advokat yakni:

“Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.”

Dalam penjelasan pada Pasal 15 UU Advokat dijelaskan bahwa Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat.

Disisi lain, meskipun seorang Advokat memiliki hak imunitas sebagaimana dijelaskan di atas, seorang Advokat tidak serta merta bebas dari segala tuntutan hukum. Dalam menjalankan tugasnya, Advokat harus mempunyai itikad baik sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 16 UU Advokat jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 . Pasal tersebut dapat dikutip sebagai berikut:

“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.”

Dalam penjelasan Pasal 16 UU Advokat, yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya. Sementara, yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUUXI/2013 menyatakan, bahwa Pasal 16 UU Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. Pengertian Luar sidang dalam putusan MK itu adalah pembelaan Advokat sejak kliennya diperiksa dan ditersangkakan diluar persidangan.

Advokat senior Luhut M.P. Pangaribuan, dalam bukunya Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, menjelaskan bahwa jika ada dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang Advokat, maka hak imunitas atau kekebalan hukum Advokat itu tidak berlaku, misalnya dengan cara-cara yang melanggar hukum. Contoh: seorang Advokat merintangi atau menghalangi supaya proses pengadilan atas kliennya tidak berjalan, yang dilakukan dengan menyuruh kliennya berpura-pura sakit atau pergi ke luar negeri. Hal itu merupakan dugaan tindak pidana dan tidak dilindungi hak imunitas.

Lain halnya apabila seorang Advokat menasihati kliennya dengan itikad baik, seperti memberi masukan kepada kliennya untuk mempersiapkan tim ahli yang banyak agar menyatakan bahwa kliennya tidak bersalah. Hal ini dilindungi oleh hak imunitas.

Sejalan dengan pendapat Advokat senior Luhut M.P. Pangaribuan, mantan Hakim Agung Susanti Adi Nugroho menjelaskan bahwa imunitas Advokat tidak dapat diberikan secara mutlak. Advokat tidak kebal hukum sehingga ia tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Terlebih lagi, Advokat adalah profesi yang sifatnya profesional dan klien berhak mendapatkan upaya terbaik dari seorang Advokat. Frasa “dalam persidangan” ini adalah tidak hanya dalam ruang persidangan itu sendiri, tetapi setiap tindakan yang diperlukan saat melakukan proses persidangan itu sendiri, baik di pengadilan tingkat pertama hingga peninjauan kembali. Tindakan coorparate lawyer dalam menangani urusan kliennya sama sekali tidak bersinggungan dengan proses pengadilan. Pendapat hukum mengenai urusan kliennya tidak dapat dikategorikan sebagai pendapat hukum yang kebal hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 18 UU Advokat. Apabila terjadi kesalahan saat memberikan pendapat hukumnya, mereka dapat dimintai pertanggungjawaban. Dengan kata lain tidak dilindungi oleh hak imunitas.[1]

Kasus terkait pelanggaran hak imunitas Advokat bisa dilihat dalam perkara yang melibatkan Advokat Fredrich Yunadi, mantan pengacara Setya Novanto, yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus ini, KPK menilai Fredrich telah menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Novanto. Hal ini merujuk pada dugaan KPK tentang adaanya persengkokolan antara Fredrich Yunadi dna Bimanesh Sutarjo, seorang dokter RS Medika Permata Hijau , yang bekerja sama untuk memanipulasi datadata medis Setya Novanto saat dirawat setelah kecelakaan yang menimpa mantan Ketua DPR itu. Dalam hal ini Fredrich mengklaim bahwa dirinya dikriminalisasi karena sebagai Advokat ia memiliki hak imunitas, sementara KPK menemukan bukti kuat jika Fredrich dan Bimanesh terlibat persengkokolan menghalangi penyidikan. Fredrich Yunadi dianggap melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yakni “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.”

Dengan demikian hak imunitas Advokat hanya berlaku bagi mereka yang menjalankan profesinya dalam membela kliennya dengan itikad baik. Ukuran itikad baik ini adalah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan tidak melanggar hukum. Dengan berdasarkan Kode Etik Advokat seorang pengacara dalam menjalankan profesinya harus bebas dan mandiri, serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J. PINAKUNARY LAW OFFICES

Temui dan Ikuti kami juga di media sosial kami
LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp


[1] Teguh Prasetyo , Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasil,(Yogyakarta:Media Perkasa,2013),hal.34.


Share this article