Share this article

Jumlah kasus perceraian di Indonesia selalu menunjukkan kenaikan setiap tahunnya. Alasannya pun beragam, mulai dari ketidakcocokan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perbedaan usia, finansial, hingga hadirnya orang ketiga.

Meski sudah resmi bercerai dan tak lagi tinggal bersama, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Baik ayah maupun ibu tentu memiliki cara tersendiri untuk mendidik anak, dan inilah yang menjadi penyebab utama hak asuh anak diperebutkan. Oleh karena itu, setiap orang tua perlu memahami semua informasi yang berkaitan dengan hak asuh anak setelah perceraian. Orang tua pun berhak memutuskan hak asuh atas anak dengan cara kekeluargaan atau melalui jalur hukum.

Mengacu pada Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), pada prinsipnya kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Artinya,  walaupun orang tua telah bercerai, anak-anak mereka tetap memiliki hak untuk mendapatkan pemeliharaan serta pendidikan yang baik dari kedua orang tua mereka. Oleh karena itu, biasanya apabila hakim memutus suatu perceraian, maka hakim dalam pertimbangannya memberikan kewajiban kepada orang tua untuk selalu bersama-sama memberikan pemeliharaan, pendidikan serta kehidupan yang layak kepada anaknya.

Sebagai gambaran mengenai pembagian hak asuh, jika melihat dari Hukum Islam, kita dapat merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). KHI secara rinci mengatur tentang kekuasaan orang tua terhadap anak dengan mempergunakan istilah “pemeliharaan anak” di dalam Pasal 98 sampai dengan 112, dimana pada Pasal 107 sampai dengan pasal 112 khusus mengatur tentang perwalian. Pada KHI terdapat Pasal yang mengatur tentang hadanah diantaranya pada:

Pasal 98 KHI:

“1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.”

Pasal 105 KHI:

“dalam hal terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Pada Pasal 105 KHI di atas, dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.

Meskipun begitu, ada pengecualian dari ketentuan Pasal 105 KHI, apabila terbukti bahwa ibu telah murtad dan memeluk agama selain agama Islam, maka gugurlah hak ibu untuk memelihara anak tersebut. Hal tersebut dikuatkan oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.: 210/K/AG/1996, yang menjelaskan hukum bahwa agama merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan (hadhanah) terhadap anaknya yang belum mumayyiz. Hal ini juga didukung oleh pendapat Ulama dalam Kitab Kifayatul Ahyar, Juz II, halaman 94, yang menjelaskan hal sebagai berikut:

“Syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan tugas hadhanah ada tujuh macam: berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah, tinggal di daerah tertentu, dan tidak bersuami baru. Apabila kurang satu diantara syarat-syarat tersebut, gugur hak hadlonah dari tangan ibu.”

Kata “Hadhanah” memiliki makna pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya agar terjamin hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perppu 1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (“UU 17/2016”) yang menyatakan bahwa kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.

Ini berarti anak harus diasuh sesuai dengan agama yang dianutnya agar perkembangan mental dan spiritualnya baik. Akan tetapi, selain melihat agama dari orang tua yang akan mendapatkan hak asuh si anak, tentu saja harus dilihat juga perilaku dari si orang tua. Kesamaan agama tidak menjadi satu-satunya faktor untuk menentukan hal yang terbaik bagi si anak (dalam pengasuhan ayah atau ibunya).

Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Agama Maumere No.: 1/Pdt.G/2013/PA.MUR. pada awalnya Pemohon (suami) dan Termohon (istri) beragama Islam dan menikah secara Islam serta telah terdaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Maumere Kabupaten Sikka. Kemudian Termohon berpindah agama, dan hal tersebut menjadi salah satu alasan percekcokan mereka yang berujung pada perceraian. Dalam perceraian tersebut Pemohon meminta agar hak asuh diberikan kepada Pemohon karena anak-anak Pemohon dan Termohon beragama Islam, dengan alasan yang merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. No.: 210/K/AG/1996 dan pendapat Ulama dalam Kitab Kifayatul Ahyar, Juz II, halaman 94, di atas.

Akan tetapi pengadilan memutuskan hak asuh jatuh pada Termohon (istri) dikarenakan Pemohon (suami) pernah terbukti bersalah di Pengadilan Negeri Maumere dalam perkara penelantaran anak. Dalam hal ini berarti baik Pemohon dan Termohon memiliki kecacatan untuk mendapatkan hak asuh anak. Akan tetapi, majelis hakim menimbang bahwa mudharat yang paling ringan diantara keduanya adalah jika anak tetap berada di bawah asuhan ibunya, karena ditakutkan perkembangan anak untuk tumbuh kembang akan terlalaikan.

Selain itu, juga dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung No.: 376 PK/Pdt/2011 di mana Penggugat dan Tergugat pada awalnya menikah secara Gereja dan tercatat pada Kantor Catatan Sipil Jakarta. Kemudian Tergugat pindah agama, begitu juga dengan anak dari Penggugat dan Tergugat, menjadi beragama Islam. Dalam putusannya, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, memberikan hak asuh kepada Penggugat (istri) dikarenakan si anak (berumur 12 tahun) memilih untuk ikut dengan ibunya. Jadi, mengenai hak asuh pada dasarnya harus mempertimbangkan juga perkembangan spiritual anak, akan tetapi tetap dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang pada intinya bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi si anak.

Semoga bermanfaat,

FREDRIK J. PINAKUNARY LAW OFFICES


Share this article