Share this article

Pada dasarnya, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang menyatakan:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. 

Asas ini dikenal dengan nama asas non-retroaktif, yaitu asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang.

Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah:

  1. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa; dan
  2. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat.

Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyebutkan bahwa,

“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”

Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif apabila:

  1. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
  2. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM).

Asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif, yaitu:

  1. kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya;
  2. peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
  3. peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
  4. keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.

Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non-retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986.

Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti tidak ada pengecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).

Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non-retroaktif pada instrumen hukum internasional.

Ahli hukum Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, mengatakan bahwa asas ini sebenarnya sudah ditentukan untuk segala bidang hukum dan diulangi untuk hukum pidana yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu

Menurut Wirjono, yang Penulis kutip dari artikel hukumonline berjudul “Asas Non-Retroaktif”, larangan keberlakuan surut ini bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak. Namun, dalam praktiknya, untuk kejahatan-kejahatan atau kasus-kasus tertentu, seperti tindak pidana terorisme atau kejahatan terhadap kemanusiaan, asas non retroaktif ini bisa dikecualikan.

Lalu bagaimana sebuah peraturan bisa berlaku surut? Untuk menjawabnya dapat mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”).

Dalam angka 124 Lampiran UU 12/2011 disebutkan bahwa: “Jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.”

Lebih lanjut dikatakan dalam angka 155 Lampiran UU 12/2011 bahwa “Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya”.

Namun demikian, jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut (angka 156 Lampiran UU 12/2011):

  1. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
  2. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan;
  3. awal dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Semoga bermanfaat,

 

FREDRIK J PINAKUNARY LAW OFFICES

 

LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp


Share this article